name='rating'/> Aku dan Pendeta Gomes
Hisnindarsyah

Belasan tahun silam, Ambon diterpa bencana kemanusiaan yang maha dahsyat: "kerusuhan komunal" antara sejumlah kelompok Kristen dan kelompok Muslim.
Pada 19 Januari 1999, genderang kekerasan antarkelompok agama itu dimulai.
Sejak itu hingga beberapa tahun ke depan, daerah yang selama ini dikenal dengan sebutan "Ambon Manise" lantaran penduduknya dikenal toleran terhadap agama dan relasi kemanusiaan, di samping keindahan alam dan lautnya, tiba-tiba berubah menjadi "Ambon Pahite" yang sangat getir.

Bahkan bukan hanya di Ambon. Kerusuhan menjalar hampir di seantero Maluku, baik selatan maupun utara: Seram, Buru, Haruku, Saparua, Aru, Tobelo, Ternate, Tidore, dsb.
Meskipun secara resmi, Perjanjian Damai (Malino) telah diteken antara delegasi umat Islam dan Kristen, yang difasilitasi oleh pemerintah pusat pada Februari 2002, tetapi "akar rumput" tetap bertikai.
Bahkan sampai 2011, kekerasan komunal masih meletup di sejumlah kawasan meskipun skalanya kecil, lokal, dan terbatas.

Dan belasan tahun silam itu juga, aku ikut masuk dalam SATGAS kesehatan SBJ ( surya bhaskara Jaya) 1999 di wilayah Maluku Utara. Sehingga aku dapat melihat dengan jelas, bagaimana tragedi kemanusiaan yang awalnya hanya berlatar belakang " senggolan antar supir angkot" , berubah menjadi kerusuhan berlabelkan agama antara muslim dan kristen.

Aku dan teman teman sesama perwira muda , disebar dibeberapa wilayah sepert Tidore, ternate, Jailolo dan diberbagai kecamatan seperti Galela, Tobelo, Sahu, Ibu, Bacaan dan lain lain. Konflik yang akarnya masalahnya sebenarnya hanya kasus sepele saja. Masalah pembagian warisan, masalah tanah tapi akhirnya berkembang menjadi konflik agama. Antara orang Makian, orang Kao dan warga Malifut. Banyak sebenarnya cerita tentang ini. Tapi aku bukan sedang membahas konflik.

SATGAS SBJ ( surya baskara Jaya) Kesehatan 1999, yang awalnya untuk memberikan bantuan kemanusiaan, di lapangan seolah berubah menjadi satgas yang ikut waspada terhadap potensi konflik yang terjadi.

Saat berada di pulau Jailolo , aku mendapat tugas di wilayah yang menjadi basis "merah" atau wilayah kristen. Desa Sahu namanya. 
Di tempat basis nasrani ini, aku berkenalan dengan pak Hasan, yang beragama muslim, dan tetap berjualan makanan dan rupa rupa kebutuhan pokok di wilayah yang banyak penduduk nasrani nya. Dan semua berjalan aman aman saja. 
Disini, untk membedakan antara muslim dan nasrani, bisa dilihat dari panggilannya. Acan untuk muslim( dari nama hasan) , dan obet untuk nasrani( dari nama robert).
Sungguh, berita hoax ,adu domba dan fitnah yang menyebabkan konflik ini.
Di desa Sahu, masih ada masjid yg berdiri megah dan kami bersholat dgn aman aman saja. Meskipun jamaah muslim sudah banyak yang mengungsi, sisa beberapa orang saja.

Namun setiap malam.pasti terdengar bunyi ledakan. Bom bom selalu terdengar. Di bawa oleh kaum milisi "putih", yang berjaga di daerah pantai. Karena di wilayah pantai sering terjadi serbuan dari kapal2 kaum nasrani , dari wilayah Tobelo. Mereka menyerang balas, pada para"obet" yang tinggal di daerah pegunungan.

Sedih, prihatin, bila teringat kondisi saat itu.
Tapi disitulah, aku berkenalan dengan seorang pendeta gereja protestan. Pendeta Gomes namanya. Saat itu , aku baru berpangkat letnan satu. Baru saja nikah. 
Awal Maret 1999 kami menikah. Kerusuhan pecah Januari 1999. Dan aku berangkat satgas SBJ bulan Juni1999. Setelah sebelumnya, aku ikut kegiatan operasi wilayah timur ( opswiltim). Keberangkatannya tiga hari setelah pernikahanku. Dan berjalan opswiltim itu" hanya" 3 bulan saja hehehe. Edisi pengantin baru yang sempurna.hahaha

Hubungannya apa dengan pendeta Gomes? Disaat aku bergerak , sebagai seorang perwira muda, yang berada di tengah konflik yang menyedihkan hati, jauh dari istri - dengan status pengantin baru-, pendeta gomes yang menemani aku berjalan jalan. Menunjukkan daerah daerah yang masih relatif aman. Juga daerah daerah yang awalnya indah, tapi rusak dan hancur berantakan.

Termasuk daerah yang butuh pelayanan kesehatan. Pendeta Gomea juga bercerita tentang kesedihan dan keprihatinannya , terhadap konflik yang terjadi ini. Karena memisahkan anak dan orang tua, kakak beradik, sanak keluarga. Meninggalkan trauma yang sangat dalam.

Dia menemaniku ke masjid dan menunggui aku saat sholat.
Dia pun mengajak mengunjungi gerejanya, menemui para jemaatnya dan mempersilahkan aku memberi pelayanan kesehatan. 
Dan tatapan penuh syukur , selalu tampak di wajah para jemaatnya.

Namun pada suatu malam, tiba tiba terdengar ledakan sangat besar. Kami langsung masuk dalam tahap " konsinyering". Kami langsung berkumpul dan dalam posisi siaga penuh.

Kanan kiri lokasi bivak kami, penuh dengan suara semak semak yang terinjak. Dan nampak terdengar suara orang berlari. Dan teriakan teriakan dalam bahasa daerah yang tak kupahami.

Suasana gelap. Malam itu sungguh sangat mencekam. Kami semalaman tidak bisa tidur. Mengharap pagi segera tiba. Untuk tahu apa yang terjadi.

Senjataku, kupegang erat. Sambil sesekali mengecek dan berkoordinasi dengan Dan unit intel andalan. Beliau dari kopaska , saat itu berpangkat Mayor. Mayor Heru Kusmanto. Aku memanggilnya mentor. Dan sekarang beliau telah menjadi Pangkoarmada 2 berpangkat Laksmana Muda TNI. Aku merapat bersama beliau juga Kapten Prasetyo, sekarang Laksma TNI, koordinasi melekat. Untuk memastikan semua personil satgat SBJ di desa Sahu yang berjumlah 48 orang, dalam keadaan aman.

Pagipun datang. Aku bersama Dan satgaswil, pasops dan Dan unit intel melakukan pengecekan keliling. Terdengar suara takbir di sekitar wilayah kami. Kami tetap waspada di tempat.

Sampai saatnya pendeta Gomes datang menemuiku.
Sambil menangis, dia memelukku , dan mengajakku ke gereja nya. 
Aku kesana , tak kuasa aku menahan tetesan air mata. Ada belasan orang jemaat, yang meninggaldan terluka karena bom bunuh diri. Dan pelaku bom bunuh diri itu adalah seorang anak belia berusia 10 tahun
Yah masih , sepuluh tahun. Jenazahnya sudah diambil oleh para kaum "putih" diiringi takbir, yang aku dengar, saat dini hari tadi menjelang fajar menyingsing datang.

Ya Alloh, cukuplah tragedi ini sampai disini. Jangan ada lagi, jangan ya Alloh...aku berdoa dengan hati yang tersayat sayat sedih.
Pendeta Gomes memelukku erat.

Aku katakan, setelah memberi pelayanan. Aku dan tim satgas harus kembali ke kapal. Perintah langsung dari panglima. Karena satgas kami , bukan satgas militer tempur, tapi satgas kesehatan. Daerah ini, harus diperkuat dengan satgas militer.

Akhirnya dengan berat hati, kami pun berpisah. Aku sampaikan salam kasihku buat pak pendeta dan seluruh keluarga. Dan beliaupun berdoa untuk keselamatanku dan seluruh timku.
Kami pun berpisah.

Waktu pun berjalan, aku berdinas di Ambon kepulauan maluku. Saat itu, Maluku utara yang awalnya , kabupaten telah menjadi provinsi tersendiri.

Pagi itu , di bulan desember 2016. Aku baru saja tiba , setelah mengikuti kongres kedokteran militer di Amman, yordania. Anggotaku , menyampaikan , ada pendeta yang ingin bertemu. Katanya, saudara karumkit. Aku berpikir, siapa ya saudaraku yang jadi pendeta?

Aku persilahkan dia masuk. Aku bertemu dengannya. Ketika bertemu, langsung tanpa ragu, dia memelukku sambil mencucurkan airmata.

Jujur aku masih belum "ngeh". Belum sadar, siapa dia ini. Lalu dia katakan, pak dokter, saya Gomes. Pendeta Gomes. Aku masih belum sadar.

Lalu, ketika dia bilang, ledakan di gereja Sahu pak dokter. Ya Alloh, langsung aku peluk dia dengan cucuran air mata yang sama.

Bagaimana, dia tahu aku ada disini? Beta sudah pindah ke maluku tenggara, dan baca berita di koran, pak dokter bikin baksos di Tual. Jadi beta sempatkan , dan harus cari saudara beta bernama dokter husin ini....hahahaha.
( rupanya dia belum bisa move on dengan pak hasan yang ada di daerah sahu, sehingga aku dipanggilnya dokter husin. Hasan dan husin).

Kami pun bercerita lama , dia pun bercerita tentang gerejanya di maluku tenggara yang baru saja mulai dibangun. Aku sisihkan sedikit rizkiku, untk tambahan gerejanya. Meskipun aku tau, dia tidak datang untuk minta sumbangan, tapi karena kerinduan akan persaudaraan.

Jadi, buat aku dan pendeta Gomes, perayaan natal, tidak untuk uji tanding memberi ucapan.
Kami sepakat bahwa natal bukanlah penunjuk angka lahirnya Isa Al Masih as atau Yesus Kristus semata. Tapi sekaligus lonceng penanda dan pengingat bahwa kedamaian dan kasih sayang pada seluruh umat manusia , harus selalu dijaga. Kerukunannya, kebersamaannya dan kasih sayangnya.
 
Kami sepakat bahwa natal buat kami , adalah penanda terus berlanjutnya keterjagaan kasih sayang dan kedamaian bagi semua insan. Tanpa perduli agama, ras , kelompok dan golongan.

Karena kami sudah pernah merasakan pedihnya menjadi korban konflik , fitnah, adu domba, dengan label agama.

Cukup sudah. Hentikan semua yang membawa nama agama , sebagai ajang konflik san perseteruan.

Biarkan kami semua, kita semua, hidup dalam damai dan kasih sayang. Apapun agamamu,
darimanapun suku, ras dan golongannya.

Salam kasih sayang dan damai di hari natal ini.
24-25 Desember 2019

Dari kami berdua
Hisnin dan pendeta Gomes

*) sebelum berpisah, beliau minta foto bersama sambil aku memakai peci dan kafiyeh. Katanya, mau dipasang di gerejanya..hahaha

  *******************************************

Gambaran sekilas situasi Ambon masa kini, yang mulai berbenah membangun spirit toleransi dan perdamaian yang sempat terkoyak akibat kerusuhan sektarian.

Banyak sekali contoh "dialog praktikal" dan kerja sama Kristen-Muslim di Maluku yang sangat inspiratif, dan perlu diambil pelajaran dan diteladani oleh kawasan lain di Indonesia (tentang contoh-contoh kasus ini, dapat dilihat di situs Sinode GPM: sinodegpm.org).

Buah manis toleransi Kristen-Muslim saat ini tidak lepas dari jerih payah para peggiat perdamaian dan rekonsiliasi di Ambon, baik Kristen maupun Muslim, yang sudah bekerja keras bahkan sejak detik pertama kerusuhan meletus di tahun 1999.

Kelompok "minoritas militan perdamaian" lintas-agama ini berasal dari berbagai latar belakang profesi dan jenis kelamin.
Meskipun banyak aktor yang berkontribusi dalam upaya rekonsiliasi dan pembangunan perdamaian di Ambon, menurut saya, komunitas agamalah yang paling agresif, proaktif, dan banyak berperan dalam proses ini.
GPM misalnya, sejak awal kerusuhan sudah terlibat pada upaya bina-damai Kristen-Muslim. Beberapa pentolan dan elite GPM (misalnya, Pdt I.W.J. Hendriks, Pdt John Ruhulessin, atau Pdt John Sahalessy) sejak awal menjadi aktor penting proses resolusi konflik, rekonsiliasi, dan perdamaian.

Bukan hanya itu, mereka juga bekerja keras "memerangi" faksi radikal di kalangan internal GPM. Demikian pula Keuskupan Amboina (misalnya peran signifikan yang dilakukan oleh Uskup Mandagi, Pastor Ulahay, atau Suster Brigitta).

Beberapa elemen dan tokoh Muslim Ambon (seperti Thamrin Ely, Hadi Basalamah, Hasbullah Toisuta, dsb) juga sejak awal berperan aktif dalam membangun predamaian Kristen-Muslim.

Apresiasi juga perlu diberikan terhadap organisasi, lembaga, atau komunitas lintas-agama (khususnya Kristen-Muslim), yang terus-menerus secara intensif memerangi akar-akar yang bisa menjadi pemicu konflik dan kekerasan di satu sisi, dan pada saat yang bersamaan menebarkan benih-benih peradamaian di masyarakat.

Contoh dari institusi lintas-agama ini adalah Lembaga Antar-Iman Maluku (LAIM) dan Peace Provocateurs, yang dibidani antara lain oleh Pdt Jacky Manuputty dan Dr Abidin Wakano.

Yang menarik dari kasus Ambon/Maluku adalah masyarakat Kristen-Muslim setempat tampaknya cukup bosan (dan "kurang percaya") dengan idiom-idiom dan jargon-jargon agama sebagai perekat (kembali) relasi antaragama.
Sebagai gantinya, mereka lebih memilih tradisi, adat, dan budaya lokal (seperti salam-sarane, pela-gandong, ain ni ain, dsb) sebagai medium untuk merajut kembali persaudaraan Kristen-Muslim.

Maluku, sejak berabad-abad silam, memang sangat kaya dengan local wisdom, yang selama ini dijadikan sebagai alat pemersatu dan pendamai umat Kristen dan Muslim dalam ikatan persaudaraan.
Kini, mereka sedang berusaha kuat melakukan revitalisasi aneka kebijaksanaan lokal ini, demi mengembalikan Ambon dan Maluku ke "altar perdamaian" sejati antara basudarasalam dan sarane (Kristen-Muslim).

Di saat Indonesia kembali dirundung duka akibat munculnya berbagai kelompok intoleran, Ambon dan Maluku bisa dijadikan sebagai cermin sekaligus teladan yang sangat baik dan inspiratif, bagi siapa saja yang mendambakan hidup rukun, toleran, dan damai dalam kemajemukan. Wallahu a'lam.


0Comments

Previous Post Next Post