name='rating'/> Hormatilah Pelacur
DokterGeJeHisnindarsyah

Dunia kelam. Wanita malam. 
Persentuhan diriku dengan dunia remang terjadi bukan diantara temaramnya lampu klab malam. Bukan dari bau alkohol yang menebar di seloki minuman keras di sudut bar. Juga tidak dari germo yang menjajakan gadis berusia tiga belas tahun dengan imbalan rupiah bewarna merah beberapa lembar.

Dunia malam hadir kehadapanku bermula dari kedatangan seorang gadis usia belasan yang mengeluh keluar nanah dari liang kemaluan.

Tubuhnya demam. Jalannya gemetar dan sempoyongan. Penuh luka di sekujur badan. 
Di ketiak, buah dada dan selangkangan. bau amis memadati ruangan. Sypilis dan Rajasinga mencerca tubuhnya. 
Toh, gadis kepayahan ini datang sendirian.

Waktu menunjukkan pukul satu malam. Kala itu, aku sedang menjalankan tugas profesi sebagai dokter muda dengan segala kenaifan yang aku miliki tentang wanita malam dan kehidupan remang-remang. 

Aku yang dikukung oleh pola kehidupan ritual yang menganggap aurat wanita sebagai sesuatu yang sakral , merasa mereka telah melakukan perbuatan dosa dan tidak bermoral. 

Namun demikian nuraniku mengatakan,
" Ulurkan tangan, beri dia kehangatan dengan cahaya Tuhan" 

Lalu kutanya siapa namanya. 
Ia menjawab, "Masih adakah arti sebuah narna bagi seorang pelacur usiran yang sekarat dan kepayahan? Masih bermaknakah sisa kehidupan setelah aku melewati masa lalu yang penuh noda kelam dan kotoran?" aku terdiam.

"Namaku bisa siapa saja", akunya.
 Semasa kanak-kanak aku berkhayal ingin menjadi penari, Aku pun ingin bisa menjahit dan menggunting rambut seperti mbak Kus yang membuka salon kecil-kecilan. 

Aku pernah bersekolah di madrasah. Hingga kini aku masih lancar mengaji dan bersembahyang meski sesekali. Tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku menjadi pelacur, menjajakan tubuh dan menjual kehormatan diri.

Ketika itu usiaku menjelang lima belas tahun. 
Saat sawah dan ladangku hilang dari pandangan. Dipasangi patok dan pembatas, katanya untuk pembangunan. Orangtuaku kehilangan pekerjaan. Aku iba melihat keluargaku yang hampir kelaparan. 

Lalu seorang wanita separoh baya datang membawa segepok uang dan menjamin keluargaku tidak akan mati kelaparan jika aku ikut kekota dengannya. 
la berjanji akan memberiku pekerjaan yang banyak menghasilkan uang. Hatiku berbunga, harapanku besar menuju kota impian.

Tetapi betapa terkejutnya aku, manakala sampai di kota harapan. Kota itu ternyata kelam, kelam dan sangat hitam. 

Aku dimasukkan kamar sempit berukuran empat kali Iima. Di dalamnya telah menunggu tiga orang laki-laki setengah baya dengan pandangan buas dan menyeringai. 

Aku terduduk di sudut kamar. Salah satu dari mereka mencoba membujukku agar duduk di sisi pembaringan. Aku menolak. Tapi mereka terus memaksaku, hingga akhirnya mereka kehilangan kesabaran. 

Aku diseret dengan paksa, dicampakkan di atas pembaringan dan meneteslah darah perawan. 

Dokter, aku sangat kedinginan.
Aku sakit dokter. Aku mau mati. Aku takut sekali. Aku perlu Tuhan atau apa saja untuk menemani. 

Angin malam berhenti bertiup.
----------------------------------------------------------------------------

Sesungguhnya pelacuran lahir dari kita, lingkungan kita dan komunitas kita. 
Pelacuran lahir dari kemiskinan yang mengekang, kelaparan yang menakutkan, pembodohan pemikiran dan kekalahan kompetisi mencari pekerjaan.

Pelacuran adalah produk dari kemunafikan masyarakat. 

Masyarakat mengutuk pelacuran sebagai perbuatan tercela, tetapi hingga kini permintaan masyarakat terhadap pelacur makin meningkat saja. 

Pancasila yang berketuhanan Yang Maha Esa mengharamkan pelacuran, tetapi lokalisasi prostitusi yang dilegalisasi merebak dimana-mana. 

Di satu saat pelacur dihinakan, dinistakan, dikejar-kejar melalui operasi pernbersihan. 
Tetapi disaat lain pemerintah tidak malu-malu memungut restribusi dan lokalisasi prostitusi yang dilegalisasi. 
Berbagai seminar, konferensi, lokakarya ataupun lobby sudah terbiasa menagunakan prostitusi sebagai aksesorisnya. 

Dalam lembaga pernikahan, pelacur dipandang hina oleh lbu rumah tangga, karena dianggap perusak keutuhan rumah tangga, toh suami-suami mereka datang pada pelacur dengan keikhlasan tanpa paksaan.

Mengatasi prostitusi tidak semudah dibayangkan karena menyangkut penyediaan lapangan pekerjaan, pemulihan kehormatan dan pelenyapan budaya hipokrit masyarakat. 

Seyogya kita mengutuk pelacuran tetapi menghormati pelacurnya.

Ayahku pernah membekali kata-kata bijak, "Surga itu tidak diciptakan untuk ulama, ustad ataupun haji. Neraka tidak dicptakan untuk maling, pencuri ataupun pelacur. Tetapi surga diciptakan untuk hamba yang diampuni Allah SWT dan neraka diciptakan untuk orang-orang yang tidak diampuni oleh Allah SWT".Semoga kita menjadi orang pilihan yang mendapat ampunan. Amien.

Harian Fajar, 27 Oktober 1996
_____________________________________________

Akhirnya, dengan perjalanan waktu, terbit kembali edisi ke 2 kumpulan tulisanku di berbagai harian atau surat kabar saat masih menjadi mahasiswa kedokteran dan dokter muda ( S.ked)  di tahun 1988-1996. Sebagai muhasabah diri, bahwa tulisan adalah penepak jejak sejarah masa lampau untuk kembangan sayap lebih tinggi di masa depan. 

Telah terbit buku masyarakat pinggiran: Sebuah kumpulan Tulisan , dicetak dan diterbitkan oleh  Hang Tuah University Pers, Februari 2022.

Kenangan bersama adikku yang luarbiasa yg sedang dirantau Sudirman Nasir , semoga suatu saat kita bisa berkolaborasi bersama lagi.

Tugu pahlawan menjelang imsak  05.03.2022
DokterGeJebersyukur






0Comments

Previous Post Next Post