name='rating'/> Persaudaraan dalam kemanusiaan
Hisnindarsyah 
DokterGeJe

Aku mengakui, aku bukan orang baik. Masih banyak sekali yang lebih baik, lebih hebat dan lebih luar biasa daripada diriku. Oleh karena itu aku berusaha terus belajar, bagaimana menjadi orang baik. Meski berkali kali gagal. Tapi ikhtiar berperilaku baik, tetap harus diperjuangkan. 

Dan di luar diriku, banyak sekali orang baik. Dari berbagai lapisan, golongan, dan agama. 
Itu yang memperkaya kepekaan kerohanianku. Aku tak akan mampu menyebut nama mereka, kecuali yang terbaru saja kualami. Yang menyebabkan mataku berkaca-kaca dalam keharuan. Dan lagi lagi cerita ini aku angkat sebagai ikhtibar dan muhasabah diri. Namun ketika cerita ini ditulis, beliau tidak mau disebut identitasnya. 

Sekitar pukul 05.00 WIB, 12 Mei 2021, saat itu baru selesai sholat Subuh. Dan persiapan untuk Sholat Idul Fitri. Pintu rumahku diketuk. Ternyata seorang sahabat baruku yang beragama Hindu Bali. Sudah menjadi Doktor calon Guru Besar di salah satu universitas Sumatera. Berdiri sambil membawa rantang makanan dan kardus parcel. Berdua dengan istrinya, dia datang berkunjung. Mendadak begitu saja, di pagi yang gelapnya masih nampak. 

Beliau diantar oleh anggota jaga Rumah sakit. Jarang sekali aku berkontak dengannya. Hanya sesekali saja. Saat mengucapkan hari raya. Dan dia sering membaca blogku. www.hisnindarsyahdokter.com.
Kadang mengWA, sekedar memberi icon simpati pada tulisanku. Yang kupasang jadi status di hape. Itu saja. 

Prof Made , begitu aku biasa memanggilnya. Sekaligus sebagai doa. Supaya segera mendapat Profesornya. 

Karena masih takut dalam suasana Covid-19 ini, aku hanya menerimanya sebentar saja. Apalagi sudah mendekati waktu Sholat Idul Fitri. Diapun paham. Lalu buru buru pergi. Meninggalkanku yang melongo saja.  

Aku sempatkan mengintip isi rantang itu. Sajian ketupat, lontong, opor yang aku dambakan dan rendang hati berpete terhidang. Sepertinya doaku tadi malam yang terkabulkan. Karena lebaran tanpa mudik, membuatku yang biasa hidup dengan semua disiapkan istri. 
Saat ini hanya bisa berpasrah dengan menunggu kiriman saja. Karena pastinya ,tidak ada restoran yang buka saat Lebaran. 

Sedang parcelnya, belum lagi aku buka. 

Setelah itu aku mencoba menghubunginya. 
By whatsapp. Dan terjadilah komunikasi yang luarbiasa. 

Aku: “Prof, maafkan saya karena saya tidak bisa menerima dengan baik Prof dan istri, karena sudah akan sholat idul Fitri. Apalagi kondisi pandemi Covid19 seperti ini. 

Matur suksme, , Prof Made terlalu baik kepada saya. Membawakan makanan , parcel dan diantar sendiri. Saya tidak bisa membalas budi mulia profesor.” 

Tak lama kemudian, Prof.Made membalas: “Assalamu'alaikum wr wb. Semoga kolonel dokter dan keluarga selalu sehat serta dalam rahmat dan hidayah-Nya. Saya yang malah bersyukur bisa mengenal dan bersilaturahim dengan pak kolonel yang banyak memperkaya khazanah bathin saya. Utamanya tentang arti keberagaman dalam beragama.

Penghormatan pada keyakinan. Ketenangan dan kesantunan dalam berkomunikasi. Dan kesabaran dalam syukur , sesulit apapun kondisi yang dihadapi. 
Akhlak ini yang menjadi contoh pada saya. 

Dan kedatangan saya sekedar untuk mencoba mengimplementasikan akhlak hubungan antar manusia, seperti yang pak kolonel doktor sampaikan. 
Mohon maaf jika saya mendadak datang, di pagi buta. Tanpa berkabar sebelumnya. Sehat selalu pak yai Doktor, semoga berkenan. maturnuwun". 

Lalu aku menjawab: “Saya bukan orang sebaik itu prof. Tapi saya bisa merasakan Prof Made sungguh berakhlak luhur dan berhati mulia. Matursuksme sanget."

Bahasa Bali gado gado pun muncul. Hehehe. 

Lalu Prof. Made membalas lagi : 
“ Saya merasakan Pak dokter termasuk orang yang telah mampu mengatasi dirinya sendiri. Paham siapa dirinya sendiri. Sepemahaman saya, ketika orang telah mampu mengatasi dirinya maka tidak akan ada lagi yang mampu mengatasinya kecuali Tuhan itu sendiri. Semoga Allah SWT selalu memberkati pak yai kolonel doktor dokter .”

Sungguh apa yang disampaikan prof Made terlalu berlebihan. Karena aku jauh dari posisi yang dibayangkan itu. 

Sepanjang ingatanku, baru sekali bertemu Prof. Made dalam penerbangan Batam Surabaya tahun lalu. 

Aku sungguh bersyukur karena sahabat Hindu Bali ini selalu ingat dan tampak terkesan. Padahal aku sendiri bingung, apa yang pantas untuk diambil manfaat dariku. Yang jauh dari nilai dan perilaku baik ini. 

Malahan bagiku justru orang seperti Prof Made inilah yang memperkaya khasanah bathinku. Tentang masih adanya orang yang sangat tulus untuk menjalin silaturahim dan persaudaraan. 
Dan ternyata banyak. 

Semakin pahamlah diriku, bahwa perbedaan dalam keyakinan tidak boleh menjadi sekat dalam mempererat persaudaraan sejati antar manusia. 
 
Karena kemanusiaan itu tunggal adanya.

Rumusnya adalah: “Bersaudara dalam perbedaan, berbeda dalam persaudaraan.”

Rumusan ini aku bawa ke mana-mana. 
Dan hasilnya sangat luar biasa: terciptanya persahabatan lintas batas dengan radius luas sekali. 
Sekalipun kadang disalahpahami teman seiman.
Tak mengapa. Biasa saja. 

Semangat bersaudara dalam kemanusiaan
Kota pahlawan 30 Mei 2021
( publish 04.06.2021)

0Comments

Previous Post Next Post