name='rating'/> Harian DI'Ways 18.03.2021
Strategi Kemitraan Bersaing dan Vaksin Nusantara
Hisnindarsyah

Beberapa waktu yang lalu, saya berbincang ringan dengan relawan Yayasan Bangun Sehat Indonesiaku (YBSI), yang mendapat bantuan program kemitraan yayasan. Biasa disapa mbak Wike dan mas Joko, dengan dua orang anak kecil, yang saat pandemi harus kehilangan pekerjaannya. 

Dari awal pandemi, mereka berusaha bertahan dengan membuka usaha kecil kecilan. Yang dijual hanya nasi campur dan camilan. Karena tidak paham memasak, maka mereka menerima jasa penitipan makanan. 

Keputusan yang terbilang ‘nekad’ bermodal kepercayaan yang minim, tidak menyurutkan langkahnya. Mereka menerima semua yang ditawarkan produsen usaha kecil (mikro), untuk dijual kembali. Diawali dengan lima puluh paket nasi kotak perhari bermenu tiga macam dengan untung beberapa ribu rupiah saja .Namun mereka menjalaninya dengan sabar.

Dalam perjalanan waktu, upaya tersebut membuahkan hasil. Semakin banyak produsen yang menitipkan produknya. Dan kali ini, bukan lagi nasi kotak bermenu tiga macam. Tapi sudah mulai berkembang menjual nasi kotak aneka menu dan berbagai camilan. Bahkan mengembangkan usahanya dengan menjual sembako. 

Padahal mereka tidak memiliki warung fisik. Hanya mengandalkan meja kecil dirumah sederhananya di daerah Dukuh Kupang Surabaya. Serta piranti Media Sosial (medsos) berupa Whatsapp untuk menerima pesanan jarak jauh. Saat ini, secara finansial mereka sudah mulai stabil. Menjadi distributor mikro, ditengah pandemi yang belum kunjung mereda.  
 
Meskipun mereka tidak mempelajari teori kemitraan dan keunggulan bersaing, namun secara implementasi, telah melakukannya. Burden dan Tony (2000)mengatakan bahwa keunggulan bersaing adalah sesuatu yang dicari oleh setiap perusahaan untuk meningkatkan keunggulan produk dalam pasar yang dimasukinya. Diperkuat Droge dan Vickrey (1994:669 ), yang mengatakan bahwa untuk mencapai keunggulan kompetitif, diperlukan kemampuan yang powerfull dalam membangun basis yang kuat antara lain melalui Kemitraan atau pathnership . Powerfull ini dimasudkan sebagai karakter yang tangguh, ulet, sabar dan berintegritas. Sehingga pada era pandemi ini, strategi kooperatif merupakan salah satu kunci untuk melalui kesulitan karena keterpurukan ekonomi. Sedangkan kemampuan membangun kemitraan atas dasar kepercayaan memegang komitmen, akan membangun keunggulan dalam berkompetisi terutama dalam ruang pasar yang rentan persaingan bebas (Global Competition). 
 
*Strategi Kemitraan bersaing dan Vaksin*

Menurut Gamble (2013) menyatakan bahwa Coopetitive Strategy atau Strategi kemitraan bersaing menyangkut persaingan di wilayah bisnis yang dioperasikan perusahaan berkonsep sama.. Dengan kata lain, strategi kemitraan bersaing mendefinisikan cara perusahaan untuk menciptakan dan mempertahankan keunggulan kompetitif dengan pesaing yang memiliki produk yang sama. Inilah salah satu keunikan pada jasa layanan medis dibandingkan dengan industri manufaktur atau asuransi. Strategi kemitraan bersaing perusahaan dalam area bisnis tertentu diperiksa dengan melihat dua faktor yaitu : penciptaan keunggulan kompetitif dan perlindungan keunggulan kompetitif. 

Saat ini ada berbagai macam vaksin yang beredar luas diseluruh dunia. Seperti Sinovac, Pfizer, Astrazeneca, Sinopharm, Sputnik V, hingga Novavax. Termasuk juga Vaksin Nusantara yang belakangan cukup menghebohkan.  

Setiap vaksin memiliki keunggulan dan kelemahan. Semisal vaksin Sinovac,yang dipilih oleh pemerintah RI dengan keunggulan yaitu tidak membutuhkan pendinginan khusus. Menurut informasi dari BBC.com, vaksin Sinovac tetap stabil di suhu 2-8 derajat celcius. Disusul oleh Vaksin Astrazeneca yang mirip , tapi belakangan . Sementara perbandingannya, vaksin Moderna harus disimpan di suhu -20 derajat celsius. Sedangkan vaksin produksi Pfizer, harus disimpan pada suhu -70 derajat celsius. 

Kesulitan freezer yang mampu memenuhi syarat tersebut, sangat krusial. Karena kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari 16.056 pulau, membutuhkan waktu tempuh lama. Kesalahan pengambilan keputusan dalam penditribusian , menimbulkan kerugian trilyunan rupiah dana APBN. Karena vaksin mudah rusak saat pendistribusian. Dan semua menjadi sia sia. Konsekuensi logisnya adalah harus mendahulukan vaksin yang segera tersedia dan mudah didistribusikan. Meskipun banyak yang mempertanyakan efektivitasnya. 

Inilah yang disebut dengan Porter (2000:126) sebagai konsep keunggulan bersaing (Competitive Advantage), yaitu berbagai aktivitas berlainan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mendesain, memproduksi, memasarkan, menyerahkan dan mendukung produk/layanannya. Ketepatan dalam analisis untuk mengetahui kelemahan dan keunggulan produk menentukan target pasar yang akan dicapainya. 

Pola ini juga, telah diterapkan oleh banyak keluarga di Indonesia dalam skala mikro. Sedangkan kebijaksanaan pemerintah dalam menghadapi pandemi adalah pola dalam skala makro. Namun dalam policy pemerintah, tidak boleh meletakkan beragam merk untuk satu keputusan yang krusial. Negara harus berani menentukan pilihan alternatif “ terbaik” demi terselamatkannya ratusan juta bangsa Indonesia. 
 
*Vaksin Nusantara*

Sebagai bangsa yang besar, kemandirian untuk menyediakan kebutuhan layanan kesehatan bagi bangsa, merupakan hal yang utama. Termasuk kemandirian untuk memproduksi sendiri vaksin hasil olah anak bangsa. Namun tentunya, hal terkait proses produksi vaksin, tidak sesederhana yang dipikirkan. Banyak tahap harus dilalui. 

Menurut Centers for Disease Control and Prevention ( CDC) ada enam tahap yang harus dilalui untuk membuat vaksin. Yaitu tahap eksplorasi, tahap uji praklinis, tahap uji pengembangan kilinis, tahap regulasi dan persetujuan, tahap produksi dan tahap kontrol kualitas. 

Yang tersulit adalah pada tahap dua dan tahap tiga. Karena pada tahap tersebut harus meliputi uji pra klinis, Uji klinis 1 ( safety trials), Uji klinis 2 (expanded trials), uji klinis 3 ( efficacy trials) , Fase uji Gabungan, Persetujuan dini dan terbatas (early or limited appproval) dan selanjutnya baru mendapat persetujuan (approval). 

Jika vaksin diibaratkan produk barang jadi, ada baiknya kita belajar strategi Kolaborasi dan kompetisi dari keluarga Wike dan Joko . Mereka paham, jika belum memiliki kemampuan untuk membuat masakan, sehingga mereka bermitra dengan para produsen. Seiring perjalanan waktu, mereka pun mandiri dan berdaya dengan membuat masakan dengan kekhasan tersendiri. Menyesuaikan dengan kebutuhan dan selera pasar. Mereka menggabungkan produk hasil olahan sendiri, dengan produk yang dititipkan pada mereka. Sehingga konsumen diberikan kebebasan untuk memilih didasarkan kebutuhan dan kondisi yang diharapkan.

Demikian halnya dengan vaksin nusantara, atau apapun namanya. Bangsa Indonesia harus mampu membuat vaksin sendiri sehingga tidak tergantung pada impor negara lain. Meskipun itu tidak berarti, kita alergi terhadap produk asing. Intelejensia/ kecerdasan, intregritas/ dedikasi dan rasionalitas dalam mengambil keputusan adalah gabungan yang tepat untuk mencapai keunggulan bersaing bangsa Indonesia di era pandemi Covid19, terutama terkait vaksin. 
 
Dengan cara itulah, kemandirian bangsa akan terjaga marwahnya. 
*) Doktor Managemen Strategi, Dokter TNI AL Founder YBSI



1Comments

Post a Comment

Previous Post Next Post