Jika kita ingin belajar tentang keadilan, di Islam, pelajaran pertama tentang keadilan bisa dilihat dari adab masuk masjid.
Di belahan manapun didunia, yang pernah aku singgahi, semua yang masuk masjid , harus membuka alas kaki.
Mau pengemis, fakir miskin, bahkan lurah, camat, tentara, gubernur, presiden, semua harus membuka alas kaki saat masuk masjid.
Apa alasannya?
Adab, etika, penghormatan sekaligus pembelajaran tentang kesetaraan.
Yang diawali niat, ketika akan menghadap pada Alloh Ta'ala.
Ketika niat ibadah, dengan tujuan menyembah pada Alloh, semua pangkat, jabatan, kekuasaan, semua ditanggalkan.
Yang ada hanyalah seorang Abdulloh: hamba Alloh.
Sehingga , harus ' manut' ikut aturan Alloh.
Tidak bisa dan tidak boleh mentang-mentang punya kekuasaan, lalu main masuk masjid sembarangan.
Dan itu dimulai dengan menanggalkan sandal dan alas kaki, saat masuk masjid.
Ini pelajaran bagus dan mahal bagi umat
Juga siapa saja yang mendapat amanah, mengemban amanah kekusaan di negeri ini.
Adil dan keadilan yang dicontohkan sandal Jepit saat akan masuk masjid, ternyata sulit dan mahal.
Mengutip kata KH Zainuddin MZ: keadilan pada pemegang kekuasaan, karena sifat dasar manusia yang serba rakus, tamak, sombong dan takabur. Maka mata pisau keadilan sering tajam kebawah, tumpul ke atas. Sehingga rasa keadilan pun terlukai.
Dan ini terjadi di semua bidang. Termasuk pendidikan. Ambil contoh dunia pendidikan kampus yang paling banyak peminatnya " fakultas D" .
Fenomena ' darah biru' , keturunan siapa, masuk golongan mana, dari kelompok mana, siapa back up nya, menjadi prioritas untuk diselamatkan ketimbang yang bukan siapa-siapa, yang tidak pandai berpaduka: berpasukan muka dua, dan bukan pasutri: pasukan berpunya materi.
Akibatnya, yang pintar dan setia justru tersingkirkan. Sedangkan yang pas pasan tapi pintar berstrategi, pintar memainkan watak, pandai berpaduka. Apalagi didukung kemampuan materi yang unggul. Justru mereka yang akan lulus dan lolos melewati jenjang pendidikan.
Jadi wajar jika hasil dari kondisi ini, sebagian menghasilkan kualitas " pimpinan" yang " pintar" tapi "ngga bener". Karena proses yang dilaluinya pun untuk menjadi pemimpin, tidak melalui cara yang benar.
Sehingga " pemanfaatan profesi", upaya balik modal karena pendidikan, adalah investasi dengan target untuk kesejahteraan diri sendiri, melalui pencapaian " kekuasaan", membuat saling sikut, saling jegal, saling fitnah, saling menjelekkan, pengkondisian dengan STIGMA, menjadi senjata yang mentradisi dalam menjalankan kekuasaan atau profesi. Seakan biasa saja, jika itu terjadi.
Mengapa? Ya karena selama pendidikan, hampir sebagian besar mengalami hal itu dan memang itu yang terjadi.
Akibatnya, hasil proses pendidikan itu, membuat munculnya pemimpin yang " pintar" tapi "tidak benar".
Karena memang sejak awalnya ada yang kepintarannya pas pasan, tapi dipaksa untuk diselamatkan karena faktor keturunan, faktor kelompok dan golongan.
Ada yang memang pintar secara ilmu, tapi juga harus pintar "berpaduka" dan "berpasutri". Sehingga terbentuklah pemimpin pintar berpaduka dan berpasutri alias pemimpin yang munafik.
Jika tidak bisa demikian, bersiaplah untuk dianggap sebagai " kuman" yang berbahaya pada lingkungannya, dan harus disingkirkan.
Inilah yang akhirnya , berpotensi merusak ajaran sendal jepit masuk masjid.
Karena pemimpin yang pintar tapi tidak benar , sangat berpotensi membohongi, mengakali dan memanfaatkan siapa saja, apa saja dengan cara apa saja. "Yang penting aku senang, aku menang, persetan orang susah karena aku, yang penting asyik, sekali lagi asyik" kata Iwan Fals lewat Bento.
Sungguh
Kita perlu dokter yang pintar tapi " benar" , advokat yang pintar tapi " benar"
Dosen yang pintar tapi " benar".
Lurah, camat, bupati,walikota, gubernur,menteri, bahkan presiden yang Pintar tapi " benar".
Jika tidak , maka yang terjadi
Disuruh mengurus beras malah nimbun beras
Disuruh mengurus laut malah jadi bajak laut Disuruh mengurus hutan , malah rame-rame jadi orang hutan
Disuruh mengurus fakir miskin, malah memiskinkan para fakir miskin
Sungguh, disaat seperti ini kita rindu sosok Umar bin abdul aziz.
Yang ketika terpilih jadi Khalifah yang pertama diucapkan adalah innalillahi wa innailaihi Rojiun.
Saat pagi hari dilantik menjadi khalifah, malam hari beliau berpesta.
Tapi bukan pesta biasa.
Melainkan pesta air mata di masjid .
Beliau sujud , menangis sambil berlinang air mata sambil bertahajud sepanjang malam. Seperti kebiasaan pada pemimpin yang baru dilantik, keesokan harinya ada yang mengiirim emas pakaian mahal berlian mutiara.
Oleh beliau dikumpulkan semua lalu beliau bertanya pada istrinya " Wahai Fatimah banyak kah kau terima hadiah ? "
" Banyak kanda, intan berlian permata emas ", jawab Fatimah istri Sultan
" Apakah kau senang? Jika kau senang dengan hadiah itu kau kumpulkan sebanyak banyaknya, lalu besok, kita bercerai . Tapi jika kau tidak sayang, tidak bahagia dengan semua dunia itu, Maka kumpulkan semua intan permata emas yang kau terima. Lalu uangnya, masukan ke baitul maal. Agar dipakai untuk mengurus rakyat negeri ini dan umat Islam." Itu kata kata yang disampaikan Khalifah umar bin abdul Azis.
Aku berkaca, pada diriku sendiri. Andai itu terjadi padaku, mampukah aku brrlaku seperti itu? Aku sendiri sangat belum yakin akan mampu melakukan itu.
Sehingga aku menulis ini sungguh untuk mengingatkan pada diriku sendiri agar berusaha terus bisa berlaku adil dan jauh dari hubbun dunya , cinta dunia.
Wahai diriku, berhati hatilah dalam mengemban amanah, jangan sewenang wenang, jangan dholim, berlaku adil dan jangan mengambil yang bukan haknya.
Lindungi kaum lemah, berkawan secara terhormat dengan yang kuat , sederajat dengan cara yang berderajat.
Karena kematian sudah menunggu
Dan saatnya makin dekat.
Wahai diriku, beristigfarlah dan bersholawatlah agar mendapatkan ampunan dan ridho Alloh Ta 'ala. Amiinnya robbal Alamin.
Musholla kecil di pinggir kota besae 4.12.2020
#dokterGeJeBlangkonputih
#bukuperangmelawanCorona
Follow IG: #hisnindarsyah_dr
Blog: www.hisnindarsyahdokter.com
Pray for Tanjung Pinang
Post a Comment