name='rating'/> Belajar beragama melalui Corona( Covid19)
Hisnindarsyah 

Memang harus diakui, perjalanan kita selama di tahun 2020, sarat dengan kepedihan dan keprihatinan.

Sebelum menyentuh Corona, aku ingin bicara tentang kesadaranku pada posisi Tuhan, agama, dan keberagaman.

Menurutku seharusnya, yang paham bahwa Tuhan menghendaki, menyukai dan bahkan menjamin keberagaman beragama adalah orang yang beragama. 

Yang paling tahu Tuhan menghargai keberagaman agama dan menghargai perbedaan keyakinan tentang keberadaan Tuhan, seharusnya orang yang beragama.

Namun apa yang terjadi?

Kita , termasuk aku lebih suka dengan ego mengikuti aneka kajian tentang agama dan Tuhan. Yang ujung ujungnya, menganggap pendapatku, aliranku, kelompokku, mahzhabku , caraku berperilaku adalah yang paling benar. Diluar itu, semua salah. 
Bahkan tragis dan sedihnya, aku dan mungkin kita, saling mengkafirkan antara kita, sesama saudara seagama. Juga yang mengaku umat beragama.

Itu baru perlakuan pada saudara seagama, bagaimana lagi, pada orang yang Tuhannya berbeda, dengan Tuhan kita.  
Jadi, jika Tuhan menguji kita di sepanjang tahun 2020 dengan Corona atau Covid19, itu adalah hasil dari perilaku kita semua .

Termasuk diriku yang jauh dari rasa syukur.

Seharusnya, sebagai orang beragama, aku dan kita semua paham bahwa Tuhan membuat agama itu untuk menjadi Rahmatan lil alamin. 

Artinya agama diciptakan Tuhan untuk sebagai sarana untuk saling mengasihi sesama makhluk yang ada didunia. Semua makhluk: manusia, hewan, tumbuhan, alam, seharusnya merasakan kedamaian , ketenangan, kebahagiaan dan kenyamanan , dengan adanya agama dan orang yang beragama.

Namun, saksikan apa yang ada disekitar kita.

Berabad abad lamanya, pertempuran dan peperangan , dilabeli oleh perbedaan agama. Chaos, rusuh , keributan, huru hara hampir disebagian besar belahan dunia, berlatar sebab perbedaan mahzhab, kelompok, golongan dan aliran . 

Dan hampir semua sumbernya segala hal yang sangat remeh temeh.

Pernah dalam suatu WA group, ada yang memasalahkan perbedaan insya Alloh dan insha Alloh, khusnul khotimah, dan husnul khotimah.
Ada yang bilang padaku , yang benar bukan Allah tapi Alloh dan macam macam hal yang sifatnya sebetulnya tidak perlu diperdebatkan berlebihan. 

Karena disaat yang sama, kita sedang menghadapi hal hal yang lebih besar: kemerosotan akhlak, kebiasaan berlaku tidak jujur, pengkondisian dengan cerita yang penuh provokasi dan adu domba. Yang ujungnya adalah ancaman disintegrasi bangsa. 

Ketika kita bicara kebangsaan dan persatuan itu berarti adalah kebersamaan menerima keberagaman dalam hal apapun, budaya, sosial, ekonomi termasuk agama. 

Pernah suatu waktu, dikampungku, ada tempat imam yang akan direvisi karena arahnya tidak sesuai kemiringan kiblat. Jadi harus dihancurkan, dan dibuat ke arah yang lebih tepat. 

Padahal, dengan memindah arah sajadah saja, semua selesai. Asli ruwet digawe dewe. Agama itu memudahkan , bukan mempersulit. Dengan demikian, orang beragama seharusnya menjadi senang, bahagia, tenang , santun dan dan ramah. Bukan malah sebaliknya, sibuk mencaci maki, marah, emosi apalagi mengkafir kafirkan saudaranya sendiri. 

Bolehlah kita mengasah diri dengan terus mengubah perilaku ke arah yang mendekati yang dicontoh Rasululloh SAW. 
Memanggil abi, umi seperti aku saling memanggil dengan istriku. Memanggil ikhwan, akhwat, ukhti, dan seterusnya. Tapi biarkanlah mereka yang memanggil dengan Bapak e, embah , enduk, romo dan bahasa lokal lainnya.
Menjadikan agama sebagai sarana kemesraan. Jangan malah hal itu dijadikan gap, kesenjangan dalam kita beragama. 

Sungguh kita ini adalah makhluk akhir zaman. Bahkan sudah kelewat zaman, bagi yang percaya kiamat tahun 2020 hehehe. 

Seharusnya kita bersyukur, tercipta sebagai manusia. Bukan hewan, tumbuhan , batu atau gunung. 
Kita tidak jadi ayam ,kambing, sapi yang bolak balik disembelih
Atau kita jadi batu yang tidak bisa berekspresi
Atau jadi tumbuhan yang bisa merasakan, tapi tidak bisa berekspresi
Atau jadi binatang yang bisa merasa, bisa berekspresi tapi tidak bisa menyampaikan ekspresinya tersebut 
Sehingga bisa dipahami.

Sedangkan kita?
Kita bisa merasa, berpikir, berekpresi dan bisa menyampaikan ekspresi itu.
Lalu pernahkah kita merasa bersyukur atas terciptanya kita sebagai manusia? 

Jika kita benar benar bersyukur maka kita akan mensyukurinya dengan menjaga anugerah Tuhan yang bernama kemanusiaan.

Mensyukuri kemanusiaan kita dengan menjaga kemanusiaan melalui kehati hatian dalam berpikir, berkata dan bertindak. Tidak serampangan dan sembarangan.

Dan Corona alias Covid 19 , selama tahun 2020 adalah salah satu pendidik terbaik yang mengembalikan nilai nilai kemanusiaan kita.

Karena Covid19 , telah mengembalikan kita bersama keluarga, untuk lebih banyak di rumah

Karena Covid19 , telah membungkam siapapun yang merasa sombong, pongah dan takabur

Karena Covid19, ' seharusnya' makin membuat kita lebih banyak berdoa dan bermohon pada Alloh Ta'ala , tidak hanya mengandalkan makhluk , sains dan tehnologi

Karena Covid19, telah mengajarkan pada kita untuk hidup biasa saja, jauh dari hingar bingar kemewahan jetset dunia termasuk mengajarkan tentang kebersihan fisik, jiwa dan pikiran agar tetap sehat.

Dan covid19 mengajarkan pada kita bahwa kematian itu pasti dan sangat dekat. Sehingga kita seharusnya berpikir bagaimana cara mengisi hari hari menjelang ajal menjemput.

Dan seharus itu diisi dengan perilaku atau segala hal yang bermanfaat atas nama kemanusiaan.

Namun saksikan apakah aku ,dirimu dan kita semua sudah berikhtibar : menjadi pelajaran berharga atas ini semua?

Aku jawab, aku belum sepenuhnya melakukannya.
Entah dirimu atau yang lain.

Aku masih harus belajar beragama dan berkemanusiaan lebih baik melalui Corona.

Selamat tinggal 2020 yang penuh keprihatinan
Selamat datang 2021 yang penuh optismisme, semangat dan keyakinan. Bahwa kita bisa lebih baik dalam beragama melalui keberagaman.

Bandara Juanda 31.12.2020

#dokterGeJeBlangkonPutih 
#hisnindarsyah_dr

0Comments

Previous Post Next Post