name='rating'/> RUU OBL DAN PEMBERANGUSAN MUTU LAYANAN KESEHATAN DI MASYARAKAT: DEMENSIA SEJARAH
Hisnindarsyah

Dalam Undang-undang Dasar 1945, hak masyarakat untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat diatur dan dilindungi. Dengan legalitas tersebut, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dibentuk untuk mewadahi aspirasi dan idealisme para dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan dan menjaga kesehatan masyarakat. Legalitas tersebut juga didukung oleh validasi Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang mengesahkan IDI sebagai organisasi tunggal profesi kedokteran.

Menurut sejarahnya, perkumpulan dokter pertama didirikan pada 1911 dengan nama Vereniging van lndische Artsen dan berubah menjadi Vereniging van lndonesische Geneeskundige (VIG) di tahun 1926. Melalui perkumpulan inilah tokoh-tokoh perjuangan Indonesia, yaitu  dr. Wahidin, dr. Soetomo dan dr. Tjipto Mangunkusumo, kemudian mendirikan Indische Partij. Perkumpulan ini kemudian menjadi fondasi nasionalisme Hindia dan menggerakkan revolusi intelektual yang menjadi titik tolak perjuangan kemerdekaan. 

Meski sempat berganti nama pada masa pendudukan Jepang dan menjadi Jawa Isha Hokokai, dan sempat terbagi menjadi dua perkumpulan: Persatuan Thabib Indonesia dan Persatuan Dokter Indonesia (PDI), akhirnya pada sekitar tahun 1950-an, tercapailah permufakatan untuk membentuk satu organisasi baru bernama Ikatan Dokter Indonesia(IDI)  yang dihadiri oleh 181 dokter kewarganegaraan Indonesia dan bersepakat untuk memilih dr. Sarwono Prawirohardjo sebagai ketua IDI pertama. 

Dalam perjalanan panjang IDI sebagai suatu organisasi profesi, terdapat beberapa sentimen yang muncul dari pihak-pihak yang menstigma bahwa organisasi ini telah bertindak secara sewenang-wenang, anti pemerintahan, telah melakukan praktik memperkaya diri, hingga isu politik identitas bernuansa islamofobia. Baru-baru ini pernyataan Menteri Kesehatan yang menyudutkan IDI telah tersebar di masyarakat tanpa melakukan klarifikasi, sehingga menimbulkan polemik yang meresahkan. IDI sendiri telah beberapa kali diterjang isu pembubaran terkait dengan keputusan organisasi terhadap tindakan indisipliner anggota. Perlakuan dan tuduhan masyarakat yang muncul dari penggiringan opini publik ini sampai-sampai mendiskriminasikan penampilan fisik anggota IDI yang dianggap terlalu agamis dan berelasi dengan kutub kanan radikal. 

*Salah satu upaya untuk menyehatkan bangsa adalah melalui profesionalisme di bidang kesehatan dan kedokteran, dan senantiasa berupaya untuk selalu meningkatkan dan memelihara pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, merata dan terjangkau. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan ini tentu saja belum cukup bila tidak didukung dengan penerapan nilai-nilai moral dan etika profesi yang tinggi, demikian juga pelayanan di bidang kedokteran pelaksanaan nilai-nilai luhur profesi sangat diperlukan. Disinilah peran IDI dengan MKEKnya yang selalu menjaga etik profesi dokter agar dokter selalu berjalan dalam koridor etik yang benar.*

*Untuk menjaga mutu layanan seorang dokter yang diberikan kepada masyarakat yang selalu _up to date_, maka IDI sebagai organisasi profesi wajib menjaga mutu baik dari segi kemampuan anggotanya dalam hal pembelajaran seumur hidup, ketrampilan profesionalnya, pengabdian anggotanya kepada masyarakat, penelitian dan pengembangan ilmu dan pendidikan dalam bentuk Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB) yang dirupakan dalam satuan kredit profesi (SKP) dan hal ini adalah sesuatu yang umum dan berlaku secara internasional. Jika menjadi anggota IDI, maka harus selalu belajar dan _up to date_ mengikuti perkembangan ilmu kedokteran.*

*Adapun dua hal di atas adalah hal yang pokok dalam suatu rekomendasi IDI kepada pemerintah untuk menerbitkan STR dan SIP yang mana jika anggota memenuhi syarat dalam hal etik dan keahlian profesinya, maka organisasi profesi akan memberikan rekomendasi terhadap anggota tersebut. Dan apabila program yang bersifat penjaminan mutu ini dihilangkan oleh pemerintah, maka bagaimana dokter yang selanjutnya akan melayani masyarakat Indonesia? Bisa kita bayangkan dokter tanpa pengawasan etik dan keahlian profesi akan menimbulkan pelayanan kedokteran yang tidak beretika dan tidak profesional. Apakah itu yang diinginkan pemerintah? Apakah liberalisasi pelayanan kesehatan yang tidak bertanggungjawab yang diinginkan oleh pemerintah?*

*Saat ini IDI dikuyo-kuyo, dihujat habis-habisan, tetapi IDI tetap diam, karena etik dan moral seorang dokter sangatlah tinggi dan hal-hal yang bersifat kekerasan misalnya dwmo adalah hal yang tabu, tetapi karena keinginan menjaga mutu layanan kedokteran yang akan diberikan kepada masyarakat dan meningkatkan taraf kesehatan masyarakat maka mau tidak mau IDI harus berteriak. Anggapan bahwa pengurus memperkaya diri sendiri adalah tidak benar, banyak yang tidak tahu bahwa pengurus IDI tidaklah dibayar sama sekali, tidak digaji, dan malah lebih sering mengeluarkan uang sendiri utk keperluan organisasi, itu mungkin yang bapak menteri kesehatan tidak tahu.*

Tak hanya itu, perombakan regulasi yang tampak bertujuan untuk mengebiri eksistensi IDI pun dilakukan, termasuk dengan meniadakan rekomendasi IDI untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Hal ini tercantum dalam RUU Kesehatan Omnibus Pasal 234 dan 235. Hak pemberian STR dan SIP yang seyogyanya dilakukan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang merupakan mitra setara independen dengan IDI, diambil alih oleh pemerintah pusat, yaitu oleh Menteri Kesehatan, maupun oleh pemerintah daerah. 
Padahal, IDI dengan MKEKnya (Majekis Kehormatan Etik Kedokteran) bersama mitranya KKI dengan MKDKI nya (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) merupakan kesatuan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang profesional, etis dan taat hukum serta aturan. Apa yang kiranya akan terjadi ketika dokter-dokter baru mendapatkan registrasi dan izin praktik tanpa aturan dan kendali mutu yang mumpuni, yang selama ini dilakukan oleh IDI dan KKI? Masih diawasi oleh kedua institusi ini saja masih terjadi banyak layanan kesehatan yang malpraktik dan membahayakan masyarakat, terlebih bila tanpa pengawasan. 

Dalam draf RUU Kesehatan juga disampaikan bahwa STR berlaku tanpa jangka waktu, alias seumur hidup. Dengan demikian, dokter tidak perlu lagi melakukan registrasi ulang yang akan mengevaluasi kompetensi dan sepak terjangnya sebagai dokter. Hal ini jelas akan membahayakan masyarakat, mengingat profesi dokter seharusnya senantiasa mengkinikan pengetahuan dan pemahamannya dalam dunia kesehatan, termasuk dalam pelayanan kesehatan. Bila terjadi malpraktik karena ketidakmampuan dokter, siapa yang harus bertanggung jawab atas hal ini? Kementerian kah? Pemerintah daerah kah? Melalui jalur apa? 

Kita tidak bisa melihat hanya pada kesalahan satu pihak, namun juga harus memerhatikan kesalahan dan kekurangan diri. Bagaimana pemerintah bisa mengatasi masalah kesehatan masyarakat berikut masalah pelayanan kesehatan yang tidak profesional, sementara akses pengaduan masyarakat sangat terbatas bahkan tidak ada? Lagi-lagi, organisasi profesi yang komprehensif lah yang akan menindaklanjuti setiap aduan masyarakat. 

*Demensia Sejarah*
Merunut kejadian demi kejadian terkait pengebirian IDI dan mitra-mitranya, ada beberapa kemungkinan yang melatarbelakangi. Dengan pengambilalihan rekomendasi dan pemberian STR serta SIP oleh Kementerian dan Pemerintah, maka kemungkinan masuknya tenaga ahli kesehatan asing dapat terlaksana dengan lancar.  Ditambah lagi pendirian rumah sakit-rumah sakit yang berbasis industrialisasi sehingga kesehatan masyarakat menjadi objek kapitalisme. Hal ini berarti, para dokter dalam negeri akan mengalami persaingan yang tidak sehat dan mungkin berakhir sebagai penonton di pinggir gelanggang. Belum lagi masyarakat yang akan mengalami gegar budaya (culture shock) dan semakin kesulitan dalam mengkomunikasikan permasalahan kesehatannya. Tidak menutup kemungkinan bila akhirnya masyarakat menjadi objek eksperimen kesehatan, meski berlindung di balik kesantunan dan pelayanan humanis. 

Permasalahan tersebut di atas seharusnya tidak ada upaya melupakan sejarah Organisasi Profesi IDI sebagai gerakan perjuanga. Demensia sejarah bisa diatasi dengan  diskusi secara komprehensif dan mendalam agar mendapatkan titik temu dengan tujuan utama menuju Indonesia Sehat secara menyeluruh. Sentimen dan pertikaian internal antara para dokter sebagai intelektual seharusnya bisa diredam dan ditindaklanjuti secara arif, dan senantiasa mengingat bagaimana para pendahulu memilih untuk mengesampingkan ego dan bersatu dalam satu kesatuan, Ikatan Dokter Indonesia. Soliditas, baik di antara para dokter, maupun antara dokter dan masyarakat seharusnya bisa terbentuk dengan komunikasi yang baik dan menenangkan. Bukan alih-alih diwarnai dengan kecurigaan dan syak wasangka. 
Perihal globalisasi yang membawa pasar bebas ke ranah negara ini tidak akan bisa dihindari. Namun demikian, seharusnya hal ini menjadi pemicu untuk setiap insan dokter di Indonesia agar dapat meningkatkan mutu dan kualitas individu di bawah arahan IDI, KKI dan MKEK. IDI, KKI dan MKEK juga harus mengintrospeksi diri tentang apa yang belum tepat dilakukan dan cara-cara apa yang harus ditempuh untuk memaksimalkan kedekatan hubungan antara para dokter dan masyarakat. 

Jiwa kolaborasi dan kooperasi harus ditumbuhkan di dalam masing-masing individu agar meminimalisasi sifat tidak puas dan kompetisi yang tidak sehat di antara sejawat. Mempelajari bagaimana rekan kerja dapat memahami kebutuhan masyarakat dalam pelayanan kesehatan, atau tentang inovasi dan inisiatif dalam mempelajari temuan-temuan ilmiah baru, merupakan suatu kewajiban bagi setiap dokter dan praktisi kesehatan. Dengan demikian, profesi dokter di Indonesia akan berkiprah maksimal dalam pengabdian terhadap kemanusiaan, yang bersatu dalam satu wadah dengan tujuan mulia tersebut, dan bukannya malah dicerai-berai oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab yang hanya mengedepankan keuntungan material.

*) dokter spesialis Kelautan, Anggota Tim hukum, advokasi dan kebijakan regional IDI Jatim, Anggota P2KB IDI Pusat





1Comments

  1. Luar Biasa Dokter, menambah khasanah dan wawasan kami 🙏🙏🙏 (D.Taruna)

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post