name='rating'/> APA SALAH JIKA MEREKA PUN MENCINTAI RASULNYA ?
Beberapa waktu yang lalu, di lampu setopan lintasan Rel KA , ada beberapa pengamen melintas.

Penampilannya pun beragam. Ada yang lusuh kumuh, ada yang memakai baju boneka, ada pula yang bertato dan Ngepunk. Dibawah terik matahari yang panas, mereka berjuang untuk hidup hari ini. Entah esok atau lusa, mereka bagaimana? 

Yang paling menarik bagiku, ada pula sekumpulan bences alias waria. Yang bermodal kecipring yang di susun dari tutup botol. Lalu menyanyi.

Menariknya dimana? Karena lagu yang dinyanyikan
bukan lagu dangdut, rock atau pop. 
Namun bacaan Sholawat! 
Lirik “shallalllahu ‘ala Muhammad, shallallahu ‘alaihi wa sallam....”, begitu renyah dan mudah tersenandungkan di bibir mereka.
Barisan waria, anak muda bertato , berambut punk, itu pun melagukan penuh bahagia, di bawah terik matahari Surabaya yang membara. 

Dalam hatiku, setan dan iblis menggoda. 
Ah, apa yang mereka lakukan, sekedar mencari simpati saja. Ujungnya, cuan, fulus alias duit juga.

Astagfirullohaladzhim. 
Aku langsung menarik nafas panjang. Menutupkan mata. Beristigfar panjang. 
Sambil bersedih pada diri sendiri karena sudah bersuuzhon pada mereka. 

Tidakkah aku harusnya malu, bahwa mungkin Alloh SWT sedang mengingatkanku!
Bahwa sholawatku tak lebih banyak dari mereka?
Bahkan mungkin mereka lebih mencintai Alloh dan Rasul Nya ketimbang aku dan kita ?

Sejak kapan makhluk hina sepertiku, beraninya menjadi hakim, menggantikan fungsi Tuhan? Untuk menilai apa yang ada dalam hati sesama makhluk Tuhan?

Aku pandangi mereka seraya berkata dalam hati, 
Apa salah mereka menjadi ummat Rasululloh? Apa salah mereka mencintai Rasululoh? 
Apa salah mereka ingin mengenal ajaran Rasululloh? Apa salah mereka ingin berjuang untuk hidup dengan cara yang mereka pahami, tanpa menghilangkan cinta mereka pada RasulNya?

Bukankah harusnya aku malu dan tau diri, karena cintaku pada Rasullulloh tak lebih hebat dari cinta mereka? Waria, anak metal, anak jalan dan PSK? 

Bayanganku pun menyeruak, mengingat kembali kunjunganku ke ponpes Waria al fattah di Kota Gede Yogya karta belasan tahun silam. 
Bersama Bunda Ratri dan teman2 waria, kami berkeliling Yogya. Melihat keseharian mereka.

Beribadah apa adanya. Ada yang bersarung, ada yang bermukenah. Tapi tetap bersholat dan bersemangat mendengar kajian. Yang jujur, sangat minim perhatian guru agama.
Dan akhirnya, aku pun jadi ustadz dadakan. 
Walau hanya 3 hari saja, tapi sudah cukup memahamkanku tentang arti Cinta dan Tuhan. 

Aku pun tersadar dakwah itu berat. 
Apalagi tidak banyak pemuka agama yang mau memberi bimbingan pada kelompok masyarakat pinggiran. Padahal tak sedikit mereka pun berhak mendapatkan ilmu tentang Alloh dan RasulNya. Dan ini tak mungkin dikerjakan sendirian. 

Mereka adalah kelompok marjinal yang butuh sentuhan kasih akan iman dan Tuhan. 
Mereka ada di pinggir bantaran kali, di tempat pembuangan sampah, di sepanjang rel kereta bahkan di kuburan kuburan. 
Mereka butuh sentuhan kasih sayang kita, untuk mengenal Tuhan. 

Oleh karena itu setulus hati, aku haturkan rasa terimakasih pada mereka yang sedang menggarap lahan dakwah marjinal. Mengajar di belantara, bantaran kali, tempat hiburan malam dan kuburan. Semoga rahmat Alloh berlimpah pada beliau yang istiqomah berdakwah pada masyarakat pinggiran dan terlupakan. 

Jazakumulloh khoiron katsiron
Dokter GeJe dalam renungan
Pinggiran Rel kereta Sidotopo 7.06.2022



0Comments

Previous Post Next Post