name='rating'/> Menitipkan tulisan tentang munculnya aliran aliran dalam agama saya sebagai pengingat diri, tidak untuk perdebatan
Mengupas kulit bawang sejarah 
( Sejarah ringkas munculnya aliran dan mahzab) 

Dulu saya bingung banget dengan pemikiran Islam yang banyak banget ; ada yang saling menyalahkan, membid'ahkan trus menganggap kelompoknya paling bener...

Artikel ini akan mencoba mencari akar penyebab munculnya pertentangan demi pertentangan itu. 

Titik Awal Pertikaian Hitam…

Kala itu, jasad Rasulullah SAW sudah terbujur kaku sekitar dua - tiga hari di rumah Beliau. Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar, Sayidina Usman, dan sahabat - sahabat lainnya, masih sibuk di luar rumah, membicarakan siapa yang akan menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala pemerintahan. Perundingan dan lobi - lobi para pihak, masih terlalu alot untuk sebuah keputusan politik yang bisa diterima semua pihak.

Nun di dalam sana, jenazah Rasulullah hanya ditunggui oleh Sayidina Ali bin Abi Thalib. Sudah tiga hari jenazah Beliau belum dikuburkan juga. Sedangkan Sayidina Ali tidak diikutsertakan dalam pembicaraan politik tingkat tinggi itu. Akibatnya timbul ketidakpuasan dari pendukung Ali.

Padahal dalam banyak hadits, Rasulullah SAW seakan - akan mengistimewakan Sayidina Ali. Misalnya disebut sebagai "pintu ilmu", gudang ilmu, yang selalu menggantikan Nabi sebagai imam shalat jika Nabi berhalangan. Sungguh banyak keutamaan - keutamaan ini diriwayatkan baik oleh kelompok Syiah maupun Ahlussunnah.

Lalu menurut kelompok Ali, keutamaan - keutamaan itu mengindikasikan bahwa Sayidina Ali lah yang paling pantas untuk memegang tampuk pemerintahan pengganti Rasulullah. Namun karena maksud ini tidak kesampaian, maka akibatnya pendukung Ali menjadi sakit hati yang berkepanjangan.

Singkat kata, keputusan politik jatuh pada Sayidina Abu Bakar RA ditetapkan sebagai khalifah pertama, pengganti Rosululloh SAW. Dan seterusnya Sayidina Umar bin Khottob RA menyambut estafet pemerintahan berikutnya. Masa - masa pemerintahan Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar Bin Khattab tidak akan dibahas dulu. Disini kita akan mencoba melihat secara kritis dan singkat kondisi politik saat pemerintahan Sayidina Usman Bin Affan dan Sayidina Ali bin Abi Thalib.

Saat Sayidina Usman bin Affan RA memerintah, terjadilah kondisi dimana beberapa orang kerabat keluarga dekat Sang Khalifah Usman bin Affan RA diberikan kekuasaan di daerah - daerah lain yang berada dalam kekuasaan Khalifah Usman RA. Sejenis KKN dalam pengangkatan pejabat pemerintahan, mulai merebak dan mendapat protes dari kelompok lainnya. Akibatnya lahir kelompok baru penentang sistem pemerintahan Sayidina Usman bin Affan ini.

Dan seiring dengan itu, dari fihak kubu pendukung Sayidina Ali masih tertanam rasa "di-kudeta" atas tampuk kekuasaan yang seharusnya jatuh ke tangan Ali. Puncaknya adalah terjadinya pembunuhan Sayidina Usman bin Affan yang dilakukan oleh anak angkat Ali bin Abi Thalib, yaitu Muhammad Ibn Abi Bakr. Lagi pula, saat itu Sayidina Usman sedang shalat lho..!!. 
(Seorang sahabat dibunuh oleh anak angkat sahabatnya sendiri. Sungguh kenyataan yang sulit bagi kita untuk tidak merasa malu).

Di lain pihak terjadi juga gesekan antara mertua dan menantu yaitu antara Sayidatina Aisyah (mertua) dengan Sayidina Ali (menantu). Awalnya adalah saat suatu kali jatuh fitnah kepada Sayidatina Aisyah bahwa beliau berselingkuh. Lalu Rasulullah minta pendapat kepada Ali. Dengan lantang Ali menyarankan : "CERAIKAN !". 
Kata - kata ini didengar langsung oleh Sayidatina Aisyah dan ini membuat beliau juga memendam bara dendam kepada Ali.

Puncak perseteruan mertua dan menantu ini mencapai puncaknya saat mana onta yang sedang ditunggangi Aisyah disembelih oleh pendukung Ali. Peristiwa ini melecut peperangan yang dikenal dengan nama perang Jamal (perang onta).

Kala itu, terjadi sejarah perburuan oleh Siti Aisyah RA beserta rombongannya (diantaranya yang terkenal adalah Abu Talhah, Zubair, Mu'awwiyah, Abu Sofyan, dan keluarga Usman) terhadap Sayidina Ali bin Abi Thalib dan sahabat - sahabatnya di Irak sana. Kulit terluar sejarah islam ini, ditandai dengan terjadinya saling berbunuh - bunuhan secara besar - besaran antara sesama kaum muslimin sendiri. Nantinya ternyata di negara Irak itu sejak dari zaman dulu, zaman sahabat - sahabat Rasulullah, bahkan sampai sekarang, sudah menjadi tempat ajang pembantaian sesama manusia. Sesama umat yang ber-Nabi-kan Muhammmad SAW, dan ber-Tuhan-kan Allah SWT.

Suatu ketika rombongan besar Siti Aisyah, Mu'awwiyah, Abu Sofyan, juga keluarga besar Ustman berbondong - bondong datang kepada Ali, hanya ingin untuk menuntut rasa keadilan Ali bin Abi Thalib atas terbunuhnya Ustman bin Affan oleh Muhammad ibn Abi Bakr, anak angkat Ali bin Abi Thalib sendiri.

Singkat kata, setelah Sayidina Ustman bin Affan terbunuh, kemudian Sayidina Ali diangkat menjadi khalifah. Dalam perjalanan pemerintahan Sayidina Ali bin Abi Thalib ini, kerabat keluarga besar Ustman lalu menuntut balas atas terbunuhnya Sayidina Ustman beberapa waktu yang lalu. Keinginan yang wajar saja sebenarnya. Secara otomatis keluarga ini ingin mencari keadilan dong ; 
“Tolong Ali, yang membunuh bapak saya agar di adili”. Setuju kan?

Karena memang Sayidina Ustman dibunuh oleh anak angkatnya Ali bin Abi Thalib. Tapi anehnya oleh Sayyidina Ali, anak angkat beliau itu diangkat menjadi Gubernur di Mesir. Bukannya di adili, ee.. sang pembunuh Ustman itu malah diangkat menjadi Gubernur.

Walhasil, ngamuklah kerabat keluarga besar Sayidina Ustman beserta seluruh simpatisannya ketika itu. Inilah persoalan utama kenapa keluarga Mu'awwiyah dan keluarga Ai’syah marah kepada Ali dan kelompok yang mendukung beliau. Kemarahan kalangan Mu'awwiyah beserta seluruh kerabat keluarga besar Sayidina Ustman bin Affan RA yang tidak bisa dibendung inilah nantinya yang akan memicu terjadinya sebuah pertempuran sengit antara kelompok Sayidina Ali bin Abi Thalib berhadapan dengan para penentang beliau. Lalu bergabung lah Aisyah dan rombongan beliau, datang dengan sekian puluh ribu pasukan ke Irak untuk menyerang Sayidina Ali bin Abi Tholib.

Terjadilah pertempuran yang sangat sengit di daerah Shiffin, atau ada juga orang menyebutnya dengan perang Jamal (onta / cammel). Duuaar…, perang pun terjadi, darah mengalir menganak sungai. Jumlah pasukan Sayidina Ali yang tewas sekitar 5.000 orang dan dipihak Sayidatina Aisyah diperkirakan yang tewas sekitar 10.000 orang. Kalau dibandingkan skala penduduk sekarang dengan dulu itu, kematian 15.000 orang itu buuaanyaak sekali. Yang mati itu manusia semua.

Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan di Shiffin ini, pasukan tentara Sayidina Ali dapat menumpas mundur tentara “pembangkang”. Tetapi oleh tangan kanan (orang kepercayaan) Mu'awiyah bernama Amr ibn ‘As dengan cara yang sangat licik, melancarkan strategi yang menyatakan menyerah dengan cara mengangkat Mushaf Al Qur’an di atas kepalanya, sehingga pertempuran dihentikan oleh Ali. Melihat hal ini, para Qurra’ (ahli Qur'an) yang berada dipihak Sayidina Ali mendesak Sayidina Ali untuk menerima tawaran untuk berdamai tersebut. Sehingga terbentuklah kesepakatan damai antara kedua belah pihak, dan sebagai perantara (negosiator), diangkat dua orang : ‘Amr ibn al ‘As dari pihak Mu'awwiyah bin Abi Sufyan dan Abu Musa Al Asy ‘ari dari pihak Sayidina Ali bin Abi Tholib Karromallohu Wajhahu. 

Dalam pertemuan antara 2 negosiator ini, kelicikan Amr ibn al ‘Ash mengalahkan perasaan kehalusan budi Abu Musa, sang negosiator dari pihak Ali. Sejarah mengatakan, sebenarnya antara kedua negosiator ini telah bersepakat untuk menon-aktifkan dulu kedua tokoh yang bertentangan, Ali dan Muawwiyah. Namun kenyataannya, dalam pengumuman yang dibacakan oleh Abu Musa Al Asy'ari sebagai orang yang dituakan, hanya Sayidina Ali saja yang diumumkan untuk di non-aktifkan (dilepas dari jabatan Kholifah). Hasil strategi yang penuh kelicikan dari Amr bin Ash, negosiator dari pihak Mu'awiyyah bin Abi Sufyan.

Bagaimana pun peristiwa ini merugikan bagi pihak Sayidina Ali dan menguntungkan pihak Mu'awwiyah. Padahal sudah jelas, Sayidina Ali sebagai khalifah yang legal sedangkan Mu'awwiyah hanyalah sebagai Gubernur di wilayah Syiria.

Dengan adanya arbitrase ini, kedudukan Mu'awwiyah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Sedangkan Ali tetap mempertahankan kedudukannya sebagai khalifah, sehingga ia harus mati terbunuh tahun 661 M oleh Abdul Rahman Ibn Muljam seorang tokoh Khawarij yang kecewa atas keputusan Ali, yang dianggap salah. Ali di bunuh, tewas ditikam dengan pedang yang dilumuri racun terlebih dahulu.

Dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib ini, maka Muawwiyah tidak menyia - nyiakan kesempatan untuk bercokol sebagai penguasa baru.

Persoalan - persoalan yang terjadi di lapangan politik sebagaimana digambarkan di atas inilah yang akhirnya merembes kepada timbulnya persoalan - persoalan theologi. Timbullah dikotomi siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang melakukan bid’ah dan khurafat. Kekacauan terjadi sepeninggal Sayidina Ali bin Abi Tholib. Mereka - mereka saling mengkhianati dan gelap mata. Dan yang sangat luar biasa adalah, mereka tidak lagi menghargai Rasulullah SAW dengan membunuh cucunya yang paling dicintainya, Hasan dan Husein, di padang Karbala, Irak.

Sayidina Husein (cucu Rasulullah) dipotong kepalanya oleh kelompok Mu’awiyah. Yaitu saat tempuk pemerintahan dipegang oleh Yazid bin Mu'awwiyah.
Anda tahu Mu’awiyah itu siapa? 
Beliau pernah disebut dalam hadits adalah termasuk 10 besar sahabat yang masuk syurga. Sahabat yang masuk 10 besar orang yang masuk syurga kok tega membunuh cucu Rasulullah gitu lho.. Sang 10 besar masuk syurga kok mau membunuh saudaranya sendiri. 
Maka wajarlah kalau pendukung Ali (baca: kaum Syiah) sangat membenci kelompok Muawwiyah, Usman dan Aisyah.

Lalu, kecintaan mereka (kaum Syiah) terhadap cucu Rasulullah dan Ahlul Bait mengubah sistem politik ; dari bentuk kekhalifahan yang diprakarsai oleh Abu Bakar, menjadi sistem Imamah (Kaum Syi'ah). Kekacauan politik semakin meruncing tajam, sehingga muncul di sana - sini kelompok - kelompok yang mengatasnamakan kebenaran untuk kepentingan politiknya. Bahkan pada masa itu dikenal pengarang - pengarang hadits palsu untuk dijadikan dalil menyesatkan lawannya dan sekaligus mengunggulkan golongannya sendiri. Karakter itu masih terasa sampai pada masa sekarang yang berkembang menjadi saling menyesatkan antara golongan dan aliran.

Inilah awal pertentangan terpanas antara sesama pemeluk agama Islam sendiri. Kemudian pertumpahan darah itu akan melahirkan saling tuding di antara keduanya. 
“Ali yang salah”, kata kelompok Aisyah. 
Dan tudingan itu dibalas pula oleh kelompok pendukung Sayidina Ali (baca : Kaum Syi'ah) : “Aisyah yang salah”. 

Dan sejak saat itulah ditanamkan oleh para penerus Nabi itu pertentangan demi pertentangan yang nantinya akan melahirkan pertentangan ALIRAN - ALIRAN dalam Islam.

Nanti sejarah akan bercerita bahwa diantara kelompok - kelompok itu, jika satu kelompok berkuasa maka kelompok oposannya seringkali "dihabisi". Dan ini terjadi silih berganti. Sampai sekarang pun begitu. 
Sebelum Dinasti Fahd (Kingdom of Saudi Arabia / Wahabi) memerintah, kelompok Habaib masih bisa hidup terhormat di Arab Saudi. Akan tetapi secara perlahan para Habaib ini makin tersingkir dari Arab Saudi, akibat pengaruh faham Wahabi yang dianut oleh pihak kerajaan KSA (Kingdom of Saudi Arabia).

Kenapa saya harus membuka sejarah ini…?

Ya, karena banyak sekali umat Islam saat ini yang tidak mengetahui kenapa mereka harus saling menyalahkan. Mungkin sudah banyak juga yang mengetahui sejarah ini, cuma belum bisa memetik pelajaran dari sejarah perjalanan kelam tersebut. Kalau kita belajar agama tidak dari sejarah ini, kita nggak akan pernah tahu apa persoalan yang sebenarnya, kenapa Syiah disalahkan, kenapa Mu’tazilah disalahkan, kenapa ini..? kenapa itu..? Dan anehnya setiap aliran lain dibilang KAFIR oleh kelompok lainnya. Jadi puncak penyebab masalahnya adalah dari peperangan di atas.

MUNCULNYA GOLONGAN - GOLONGAN

Nah, pada masa pertumpahan darah di atas, lalu ada kelompok yang tidak setuju dengan pertempuran tadi itu, terutama dari dalam kelompok pendukung Sayidina Ali sendiri. 
“Ali terlalu lemah”, kata sebagian pasukan Ali. “Seharusnya Ali tidak memberikan konsesi - konsesi terhadap Mu’awwiyah”. 
Sebagai anak buah, mereka menuntut. 
Maka kelompok yang keluar dari kelompok Ali ini kemudian disebut sebagai kelompok Khawarij (walk out). Jadi dari zaman dulu sudah ada itu yang namanya walk out. Dalam bahasa Arab namanya Khawarij. Kalau sekarang kasusnya mungkin sama dengan perpecahan internal sebuah partai. Bagi kelompok yang tidak sejalan lagi dengan kebijakan partai yang ada, akan muncul kelompok sempalan, orang yang membentuk partai lain dengan menambah berembel - embel reformasi di belakang nama partai yang lama.

Jadi, wajar saja kalau ada anggota kelompok kita yang tidak sejalan dengan kebijakan kelompok itu sendiri. Andai kata saat itu kita ikut sebagai pelaku sejarah itu, dan kita menjadi khawarij apa ya salah..? Dengan berpikir sebagai manusia biasa saja, jangan sebagai wali, karena wali itu berpikirnya sangat bening: “Kok sama mertua bisa hantam - hantaman sebegitunya …”. 

Dan oleh kelompok pendukung Sayidina Ali, kelompok Khawarij ini lalu dicap KAFIR. Hanya karena Khawarij ini keluar dari barisan Ali. Maka sejak itu lahir pulalah pengkafiran - pengkafiran yang ditujukan kepada lawan - lawan politik masing - masing bagi yang sedang berseteru tersebut. Misalnya, kelompok pendukung Ali mengkafirkan kelompok Ai’syah dan Khawarij. Begitupun sebaliknya. Kelompok Aisyah mengkafirkan kelompok pendukung Ali dan Khawarij. Juga "lucunya" adalah kelompok Khawarij pun mengkafirkan kelompok Ali dan kelompok Aisyah. Gayungpun bersambut. Maka sejak itu pun istilah kafir lalu berbunyi seperti suara tokek, saling bersahutan..

Lalu ada yang berfikir RASIONAL ;
Ali mereka anggap tidak salah. Aisyah juga mereka angap tidak salah. Tapi dua - duanya itu tidak dianggap kafir oleh kelompok yang berfikir rasional ini, walau saat itu sangat mudah muncul cap kafir bagi lawan sebuah kelompok lainnya. Karena memang waktu itu sangat mudah terjadi saling pengkafiran. Namun kelompok berfikir rasional ini hanya menganggap kedua kelompok itu, Ali di satu pihak dan kelompok Aisyah di pihak lain, hanya telah melakukan suatu kesalahan saja yang disebut dengan “Asyii” (orang yang melakukan kesalahan). Artinya mereka menganggap Ali dan Aisyah hanya 'mukmin yang punya salah'. 

Kelompok yang berfikiran seperti ini lalu disebut orang dengan nama MU’TAZILAH, RASIOANALIS. Artinya kelompok yang menggunakan rasio, menggunakan pertimbangan yang rasional. Mereka sendiri menyebut kelompoknya dengan sebutan “AHLUL ‘ADLI”, kelompok yang adil (menurut anggapan mereka).

Karena tidak berpihak seperti ini, maka oleh kelompok pendukung Sayidina Ali, mereka dianggap KAFIR juga. Kenapa mereka dianggap kafir oleh kelompok Ali?
Ya, ini karena oleh Mu’tazilah, Ali bin Abi Thalib dianggap punya kesalahan (maksiat). Padahal oleh kelompok pendukung Sayidina Ali (baca : Syi'ah), Sayidina Ali itu dianggap sebagai "Imam Suci", yaitu orang yang tidak pernah punya salah dan mempunyai derajat MAKSUM (terpelihara dari dosa dan maksiat). Maka oleh pendukung Ali yang bilang bahwa Ali adalah maksum ini (Kaum Syi'ah), kaum Rasionalis (Mu’tazilah) ini lalu mereka cap kafir juga.

Padahal kaum Mu’tazilah ini lagi mikir - mikir, bahwa secara rasional saja Ali dan Aisyah ya salah, karena mereka saling membunuh orang banyak. Walaupun begitu, Ali maupun Aisyah tidak anggap kafir oleh kaum Rasionalis ini. Tapi oleh kelompok Ali yang tetap mengklaim bahwa Sayidina Ali itu suci, maupun oleh kelompok Aisyah yang juga menganggap Sayidatina Aisyah itu suci, kelompok Rasionalis ini dianggap kafir pula. Padahal kalau direnung - renungkan, dari mana tuh rumusnya ada orang yang saling berantam dan dua - duanya merasa benar, dari mana hitungannya?
Paling tidak ya salah satu salah…

Ini pendapat orang yang berpikiran rasional. Tapi yang berpikiran rasional begini tetap dianggap salah dan kafir oleh pihak Ali maupun pihak Aisyah.

Lalu antara kelompok pendukung Ali maupun kelompok Aisyah ini sampai turun temurun saling tidak mau menerima riwayat hadits dari pihak lawannya. Kelompok Ali tidak mau menerima hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah. Begitu juga kelompok Aisyah juga tidak mau menerima hadits yang datangnya dari Ali. Untuk membuktikannya, lihatlah kitab Riyadus Shalihin, Bulughul Maram. Dalam kitab - kitab tersebut hampir - hampir tidak ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh Ali Bin Abi Thalib. Begitu juga dalam kitab hadits yang dikumpulkan oleh pendukung Ali, sangat jarang sekali bisa ditemukan hadits yang diriwayatkan oleh kelompok Aisyah.

Inilah awal terjadinya perpecahan hadits. Lalu hadits - hadits yang diriwayatkan dari Ali ini dikumpulkan menjadi hadits kelompok Syiah. Makanya dalam hadits Syiah, misalnya, masih ada kawin Muth’ah (kawin kontrak). 
“Yuk kita kawin yuk, dua hari saja, lalu kita udahan”. 
Ini namanya kawin kontrak. 

Kawin kontrak ini memang pernah terjadi di zaman Rasulullah, akan tetapi sudah di nasakh (dihapuskan) dikemudian hari. 
Nah penghapusan kawin muth’ah ini hadistnya dipegang oleh Aisyah. 
Kata Aisyah, “Oo kawin Muth’ah itu sudah dihapus…!
Kelompok Ali menjawab: “No way…, aku nggak pernah dengar dari Rasulullah..”. 

Begitulah…!
Maka kemudian terjadilah keruwetan yang amat sangat tentang riwayat meriwayatkan hadits ini.

Kelompok Khawarij lalu nggak mau pakai hadits, mereka hanya mau pakai Qur’an saja. Mereka menganggap ruwet kalau pakai hadits, karena semua nggak bisa dipercaya. Makanya kelompok Khawarij ini nggak mau shalat. “Pokoknya saya tauhid saja, saya ikut Allah dan Muhammad saja, titik. Saya nggak mau riwayat - riwayatan hadits..!” 
Nah ini Khawarij namanya.

Terjadilah perpecahan antara sesama umat Islam sendiri dengan sangat ekstrim. Dari kelompok Aisyah lalu memunculkan cikal bakal bagi munculnya kelompok - kelompok yang disebut dengan Bani Umayyah, sedangkan dari kelompok Ali sangat terkenal dengan kelompok Bani Fatimiyah-nya. Dua kelompok besar ini bertempur tak habis - habisnya dari zaman ke zaman. Saat kelompok Ali yang menang, maka muncullah kerajaan Bani Fatimiyah. Lalu kelompok Bani Umayyah di kejar - kejar dan dibunuhi oleh keluarga Bani Fatimiyah ini. Begitu pun sebaliknya. Saat Bani Umayyah yang menang, maka Bani Fatimiyah pada gilirannya yang dikejar - kejar dan dibunuhi oleh kelompok Bani Umayyah.

Pertempuran turun temurun dua Bani ini lalu telah memunculkan dua golongan besar penganut Islam. Satu pihak dari Bani Umayyah melahirkan kelompok besar yang sekarang dikenal dengan kelompok Sunni, Ahlussunah Wal Jamaah. Sedangkan dari pihak Bani Fatimiyah melahirkan kelompok Syiah, atau kelompok yang mengikuti keimaman Ahlul Bait. Demikianlah terjadi silih berganti peristiwa hantam menghantam ini.

Pertempuran dan perpecahan Sunni dan Syiah ini tidak berhenti di tanah Arab sana saja. Bahkan sampai mengalir sampai ke tanah Jawa. Di Jawa perseteruan ini ditandai dengan perselisihan antara Sunan Giri dan Sunan Kalijogo. Sunan Kalijogo berseteru dengan Sunan Giri, karena Sunan Kalijogo dianggap mengembangkan Syiah sedangkan Sunan Giri mengembangkan Sunni. Lalu muncullah Sunan Bonang sebagai penengah diantara keduanya. Perdamaian keduanya ditandai dengan berdirinya Masjid Demak. Tiang tatal yang diikat - ikat di Masjid Demak adalah perlambang dari proses perdamaian itu. 
Tiang Tatal itu seakan bermakna bahwa “Wala tafarraku, jangan bercerai berai”.

Maka setelah perdamaian antara Sunan Kalijogo dan Sunan Giri itu, maka digabunglah aliran Syiah dan aliran Sunni itu menjadi seperti yang dipraktekkan oleh orang-orang di NU sekarang ini.

Ini sejarah…. 
NU adalah salah satu contoh keberhasilan penyatuan konsep ibadah serta imamah versi Syiah dengan fikih versi Sunni di bumi Nusantara ini …!!!

Sebenarnya masih banyak lagi varian perpecahan dalam agama Islam sampai saat ini. Tapi intinya perpecahan ini adalah akibat dari memahami hadits dan ajaran agama lainnya yang kemudian dengan berhasil dan sukses dibawa menjadi konflik antar golongan.

Banyak kok Sahabat Nabi yang mulia lainnya yang berbicara dan berbuat sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah Nabi. Yang saya kritisi adalah kekisruhan dan kebingungan umat yang sampai ke kita sekarang ini yang masih terasa akibat dari kekisruhan sejarah masa lalu perkembangan Islam. Sejak zamannya sahabat-sahabat juga. Ini yang saya kelupasi ya tentu saja semampu saya saja. Banyak lho kekaguman saya kepada ajaran-ajaran Ali bin Abi thalib, dan ahlul bait lainnya, maupun sahabat - sahabat besar lainnya. Ternyata ajaran Rasulullah itu, ya ajaran yang sampai ke golongan Sunni dan ajaran yang sampai ke golongan Syi'ah YANG DIGABUNG menjadi SATU.

Sebenarnya umat Islam sekarang ini, yang selalu bersemboyan bahwa kita adalah umat yang mengikuti dan berpegang teguh pada Sunnah Rasulullah SAW, sudah banyak yang meninggalkan Al Hadits.

Ada juga orang - orang yang sangat getol mencirikan bahwa umat Islam itu AFDALNYA pakai jubah, sorban, dan berjenggot. Tapi tahukah Anda, bahwa Abu Jahal, Abu Lahab dan kaum kafir Quraish lain pun, penampilannya begitu seperti wali - wali dalam film sinetron di negara kita.

Inilah perlunya tahu sejarah...

( sekedar mengutip untuk ikhtibar dan muhasabah diri sendiri)

13.08.2021



0Comments

Previous Post Next Post