name='rating'/> " Sang Kyai Becak Gempa Yogya"
Hisnindarsyah 

Sabtu dini hari 27 Mei 2006, waktu menunjukkan 05.55.03. Bumi berderak, Tanah Bantul pun berguncang. Gempa tektonik berkekuatan 5,9 Skala Richter menghantam dan menghancurkan segala yang ada di bumi Kraton Yogyakarta. Pesisir Pantai Selatan, utamanya Bantul, menjadi salah satu kota terparah. Selain juga Kota Yogyakarta, Kraton Nusantara.
 
“Abi, gempa bumi di Yogya, parah keadaannya. Apa kita turunkan relawan YBSI di sana?” kata Istriku, Virly Mavitasari , seraya gelisah. 

Aku pun terdiam. Ini tugas dan tantangan yang berat. Menurunkan tim YBSI untuk daerah Surabaya dan Jawa Timur itu sudah biasa. Rutin bagiku bersama relawan medis YBSI untuk berkeliling kampung. Di sekitarSurabaya, Gresik dan Sidoarjo. Melaksanakan kegiatan baksos kesehatan dan edukasi hidup sehat. Untuk masyarakat “grass root”, akar rumput. 

Kami terbiasa berkumpul dengan pemulung, tukang sampah, tukang becak, pedagang asongan di Keputih. Sekedar bertanya tentang keadaan kesehatan mereka. Dan berbagi pengobatan, semampunya. Jika ada yang ingin bergabung. Alhamdulillah. Tidak adapun, kami tetap jalan. Meski dengan kemampuan “apa adanya saja”. 

Aku sadar, mengajak untuk berbagi tidaklah mudah. Malah seringnya jadi potensi timbulnya kesalahpahaman dan suudzhon( prasangka buruk) . Wajar saja jika ada yang menganggap kegiatan YBSI sarat kepentingan. 
Tapi aku dan keluargaku tak menghiraukan. Kami tetap terus berjalan. Dan saat gempa Bantul, Yogya, terjadi, kami baru memasuki tahun keempat dalam memutar roda gerak YBSI. Masih muda, semuda usia pernikahan kami. 

Tapi membawa tim YBSI keluar wilayah Jatim, sejujurnya kami belum pernah. Karena itu tentunya membutuhkan “amunisi” yang tidak sedikit. Transportasi, operasional, dan obat-obatan, tentu butuh biaya cukup besar. Sedangkan, menurut pertimbanganku sendiri, aku belum mampu untuk bergerak membawa Tim YBSI keluar wilayah Surabaya dan Jawa Timur.

“ Aku pikir dulu ya ami, kita tidak mungkin sendirian, kita harus punya mitra, jika akan menggerakkan tim kita. Lalu siapa mitra kita? “. Istrikupun terdiam. 

Mataku menerawang. Terlalu lama aku melamun, sehingga nyaris terlambat untuk bertugas jaga di Kamar operasi IRD. Dalam galau dan gelisah, aku pun berangkat.

Seminggu berlalu..
.
Dini hari seusai sholat subuh berjamaah. Di masjid yang tak jauh dari rumah. Tampak di kejauhan, terlihat samar, sebuah becak berhenti di depan rumah. Pak Lan, demikian biasanya aku memanggilnya. Dia tukang becak langgananku, yang biasa mengantar anakku yang masih kecil pergi ke sekolah dekat rumah.

“Assalamualaikum, Pak Dokter”

“ Waalaikum salam, Pak Lan. Lho tumben subuh subuh sudah ada di rumah. Ada yang bisa dibantu?”

Selalu kalimat itu yang keluar. Entah kalimat premis kerelaan hati, atau mungkin justru kesombongan diri. Karena menganggap dia hanyalah seorang tukang becak. Yang pastinya, jika bertemu denganku, “Pasti karena sesuatu yang ingin dibantu.“

Ternyata dugaanku salah besar.

“Pak dokter, sudah tahu tentang berita Gempa di Yogya?“

“Inggih, sampun Pak Lan, wonten menopo nggih. Apa ada keluarga yang disana tertimpa musibah?” 

“ Oh, mboten ( tidak, red) pak dokter. Alhamdulillah, sehat sedoyo. Ngenten ( begini, red) pak dokter, panjenengan khan punya regu yang sering bikin pelayanan kesehatan keliling begitu. Mboten direncanaken pelayanan kesehatan datheng mriko (disana, red) pak dokter. Kulo ningali tipi, duh sedih ati kulo pak( saya melihat tivi, hati saya sedih,red) .“

Kaget dan gamang aku atas pertanyaan itu

“ Ya memang ada rencana YBSI turun disana pak, tapi ini masih mikir kapan ya waktunya? “, kalimat itu begitu saja meluncur, tanpa aku sadari. 

“ Mboten usah dipikir malih pak dokter, langsung mawon mbantu Yogya( tidak usah dipikir lagi pak dokter, langsung saja bantu Yogya, red) . Menawi panjenengan ke Yogya, kulo nitip kagem tiyang yang membutuhkan di Yogya.( jika anda berangkat ke Yogya, saya titip untuk orang yang membutuhkan di Yogya “

Seraya beliau menempelkan tangannya ke tanganku.

Kutatap amplop putih lusuh yang dipegangkan olehnya ditanganku. Mendadak saja, aku gemetar. Dengan keringat dingin yang tiba-tiba saja keluar.

Aku kuatkan hati. Aku buka amplop tersebut. Dan aku hitung lembaran lusuh tapi bercahaya ikhlas. 126 ribu rupiah. Dadaku tergetar hebat. Nyeri amat sangat. 

Tanpa aku sadar, satu titik air mata, menyelinap di bola mataku. Ya Allohu Robbi, betapa kufurnya aku. 😭

Seorang pengemudi becak telah menjadi kepanjangan tangan Alloh Subhanahu Wata’ala , untuk menamparku.

Seolah Tuhan berkata, 
“ Lihat kau hambaKU. Kau masih memiliki rumah yang tenang. Tidur pulas dengan AC dingin. Makanan yang selalu siap setiap saat. Mobil yang ada beberapa buah. 
Dengan banyak relawan yang turut juga membantu keseharianmu. 
Kau sudah kuberi nikmat. Dan ketika ada saudaramu yang tertimpa ujian, dirimu masih galau. Dirimu bingung, mencari mitra. Agar bisa membawa tim YBSI ke sana.
Padahal Aku, Allah Ta’ala, adalah sebaik-baiknya pemberi nikmat dan rejeki. Dan selalu ada bersamu. Menjadi mitramu. 
Tapi engkau wahai hambaKU, Kau Kufur pada nikmatKu, Sehingga masih tak percaya pada keMahakuasaanKU.”

Aku menggigil. 

Tersungkur aku sambil mencium tangan Pak Lan “ Sang Kyai Becak “, yang telah mengajariku ilmu hikmah. Ilmu syukur. Ilmu ikhlas. Ilmu pekerti. Ilmu bermanfaat bagi sesama. 

Segera aku masuk kerumah. 
Aku panggil istriku. 

“Ami, ada uang berapa di rumah? Kalau kita tidak punya uang, barang apa yang ada, kita jual dulu. Yang penting, kita segera berangkat. Tim relawan YBSI harus segera berangkat. Maafkan Abi yang tidak bisa mendampingi Ami ke Yogyakarta. Ami menjadi panglima jariah YBSI di Yogyakarta. Berangkat ya ami.“
 
Istriku tersenyum dan berkata, 
" Bismillah, aku dan relawan YBSI, Insya Alloh Siap “.

Dan tanggal 10 Juni 2006, setelah mempersiapkan tim dan segala hal, tim relawan YBSI yang dipimpin oleh Panglima Virly Mavitasari bersama 10 orang, berangkat ke Yogyakarta.

Di sana , YBSI bekerja hampir sebulan lebih. Berposko di Gereja Bantul dan Ponpes Roudhotul Ulum Bantul Yogyakarta. 
Kami menghaturkan terima kasih, maturnuwun pada Romo Kyai Haji Ahmad Muzammil , yang sudah menerima kami, menjamu kami, sekaligus membawa kami bergiat dan berbagi di Bumi Kraton Yogyakarta Hadiningrat.
 
Sungguh harta, pangkat, kekuasaan dan jabatan, bukan jaminan seseorang menjadi terhormat di hadapan Allah Ta’ala. Manusia mudah tertipu, tapi Dia Maha Tahu.

Jangan pernah meremehkan orang yang seperti tidak penting. Padahal justru di diri merekalah , kita belajar tentang pentingnya “Mementingkan kepentingan orang lain, daripada kepentingan diri sendiri.”.

DUKA CITA YANG MENDALAM UNTUK UJIAN DI BIMA NTB dan FLORES NTT

Dini hari di masjid agung Al Hikmah 6.04.2021

*) al faqir Khadam Klinik Tanpa Kasir Tanjung Pinang


0Comments

Previous Post Next Post