name='rating'/> Sensor Penyintas VS Covid Kembali Melindas: Jangan Abai dan Jangan Menyerah
Oleh: Hisnindarsyah 

Jangan jumawa jika sudah pernah terpapar Covid19. 
Apalagi sudah mendapat vaksin. Lalu menganggap semuanya akan baik baik saja. Karena punya kemampuan bernama antibodi untuk menghadapi Covid19 ini. Hati-hati.

Harus diingat. Sampai saat ini, dari kalangan medis, masih meraba raba. Makhluk seperti apa sebenarnya Covid19 ini.
Hampir 12 ribuan penelitian yang tersebar , dibuat oleh banyak peneliti top dunia. Pada kenyataannya, masih belum bisa menentukan karakter virus ini. Antara apa yang ditulis di suatu wilayah tertentu, berbeda hasilnya dengan di wilayah lain. 
Dan perkembangannya pun sangat cepat. Mutasi virus ini sangat luarbiasa pesat. 

Mengapa? Karena virus Corona19, ahli menyamar. Pintar berkamuflase. Sangat ulet. Dan super sabar.

Aku telah merasakan serbuan Covid19 sehingga berpredikat sebagai penyintas. Termasuk berusaha menganalisa, mencari berbagai literatur, membaca berbagai referensi ilmiah maupun non akademik. 
Dan semakin mumet. 😢

Apalagi, dengan berita berita hoax . Yang tidak sampai seribuan jumlahnya. Namun terposting masif. sehingga mampu membius hampir sebagian besar penduduk di muka bumi ini, untuk tidak percaya pada Covid19. Dengan berbagai macam alasan. Intinya membuat ' blunder', sehingga kewaspadaan orang akan bahaya Covid19, menjadi sirna. 

Tak mampu lagi aku menyebutnya, saking banyaknya.

Bersamaan itu pula, jumlah nakes ( dokter, perawat dan nakes lainnya) yang gugur, makin banyak saja. Yang sebanding lurus dengan banyaknya ulama, kiyai, guru besar , orang orang baik yang wafat, gugur. Syahid.

Seolah rumusnya seperti ini: 
Semakin besar penolakan pada eksistensi Covid19 ditambah variabel pengabaian pada protokol kesehatan, sebanding lurus dengan peningkatan angka kematian nakes, ulama, dan orang baik.
Anggap saja ini rumus asal asalan. Asal jadi. Tidak sesuai kaidah keilmuan.

Tapi fakta ini nyata. 

Data menunjukkan semakin banyak yang terkonfirmasi , sebanding dengan banyaknya yang meninggal. Aku tidak akan membahas lagi tentang data dan angka. 
Cukup sudah membahas itu. Karena, semua informasi sangat mudah untuk diakses.

Aku mengingatkan pada yang sudah jadi penyintas Covid19 atau yang sudah vaksinasi, agar tetap waspada. Jangan abai pada protokol kesehatan. 
Apalagi yang bukan penyintas Covid19 dan belum vaksinasi. Lebih baik anda lebih banyak tafakur, diam di rumah, batasi interaksi, hindari kerumunan. Dan ikuti protokol kesehatan dengan baik. 

Kalau tentang rizki dan ekonomi, berikhtiarlah sesuai dengan kondisi pandemi ini. Jangan jadikan alasan kondisi pandemi, untuk menghentikan ikhtiar sesuai protokol kesehatan. Lalu nekad berikhtiar, dengan abai pada protokol kesehatan. 
Dengan alasan , dari pada mati kelaparan, lebih baik mati di jalanan. Tolong, hentikan pikiran tidak bijak ( baca: bodoh) , seperti itu. 

Abai pada protokol kesehatan itupun ada tingkatannya. 

ABAI TINGKAT LOW - MEDIUM - VVIP HIGH.

Ini berdasarkan ilmu 'gothak gathuk' juga pengamatanku di lapangan.

- Abai derajat Low atau rendah: sebenarnya tidak punya niat abai, tapi sering lupa
Ini contohnya, diriku sendiri. Hehehe

- Abai derajat Medium atau sedang : Tidak punya niat abai, tapi ' terpaksa' abai karena kondisi lingkungan. Di pasar , di mall, di pesta pernikahan atau acara resmi, sehingga prokes dilaksanakan " setengah matang". Alias tidak seutuhnya.

- Abai derajat High class alias VVIP alias tingkat tinggi : Memang tidak percaya Covid, tidak punya niat melaksanakan prokes Covid19 dan hanya percaya hidup mati ada di tangan Gusti Alloh.

Untuk yang terakhir ini, saranku, berdiri di atas rel kereta api , tunggu tangan Gustimu, menyelamatkanmu dari terjangan lokomotif ( asli guemes pool).
Ini kriteria by dokterGeJe, yang tidak perlu jadi rujukan karena memang tidak ada standar ilmiahnya. 

Aku sendiri sudah mengalami 2 hal yang menarik , sejak berpredikat sebagai penyintas Covid19.

Pertama, tubuhku jadi lebih peka terhadap kondisi lingkungan yang ' bercovid'. Istilahnya, tubuhku seperti memiliki SENSOR terhadap keberadaan Covid19 disuatu tempat tertentu.

Anggap saja, jika aku masuk dalam suatu tempat. Seperti di resto, cafe, mall. Lalu duduk disana. Jika disekitar lingkunganku terdapat yang menderita Covid19, baik OTG atau dengan gejala, maka mendadak tubuhku terasa hangat. Suhu terasa naik. Dan jika diteruskan maka, badan terasa pegal pegal. 

So, itu tanda di daerah tersebut ada yang menderita Covid19 atau lingkungan tersebut tidak steril dari Covid19.
Dan itulah 'early alarm' tubuhku, bahwa aku harus segera pergi dari tempat tersebut.

Aku tidak tahu apakah ini juga terjadi pada penyintas Covid19 lainnya, atau hanya padaku saja. Namun ilmiahnya, marker atau penanda Covid19, bisa didapatkan dari Saliva atau air lendir juga dahak( Swap) , Keringat dan rectum atau anus. Mungkin bisa dihubungkan sensor yang ada pada para penyintas ini. 

Dan berdasarkan pengalaman pribadi , ini semua logic, masuk akal dan terasakan. 

Swap lendir, dari hidung dan dahak, karena memang organ pernafasan paling sering diserang. Targetnya adalah terjadinya ARDS( Acute Respiratory Distress Sydrome) Yaitu kumpulan gejala yang mengarah pada kesulitan bernafas, sehingga oksigenasi kurang. 

Dan bagi yang menderita Covid19, serta ' si Cupid nakal ini' sudah bersemayam di paru paru, bisa jadi keluar bersamaan dengan pernafasan yang normal saja. Ini biasanya terjadi pada orang tanpa gejala( OTG). Yang lebih berbahaya ,dari aspek penularannya, dibanding orang dengan gejala.

Dan bisa jadi, udara yang terhembus dari para OTG ini, terbaca dan tertangkap oleh penyintas seperti diriku. Sehingga tubuh penyintas Covid merespons, biasanya dengan rasa tidak nyaman ' mendadak', saat bernafas. Meski masih belum ada penelitiannya, tapi aku sharing apa yang aku rasakan. Dan tentunya , tidak semua sama responsnya ,dengan diriku.

Jadi ini sebatas asumsi saja.

Kemudian tentang keringat.
Pada orang Covid19, berbeda dari keringat yang keluar karena proses toksin normal tubuh. Keringat yang keluar, 'mungkin' mengandung kotoran renik Covid19, sehingga menjadi marker ada tidaknya Covid19 dalam tubuh. 

Dan 'bisa jadi', ini yang menimbulkan aura yang terbaca oleh tubuh yang sudah mengandung antibodi Covid19. Hanya antibodi covid19 yang bisa membaca komponen renik Covid19.
Ini baru asumsi, perlu pembuktian. Tapi bisa jadi panduan non empiris , karena berdasarkan pengalaman saja.

Sedangkan swab pada lendir di rektum atau anus, bisa jadi dapat diketahui ada tidaknya Covid19. Karena berdasarkan pengalamanku juga penyintas yang lain, ada yang bergejala obstipasi atau tidak bisa BAB. Ada juga yang diare sampai dehidrasi. Sehingga marker Covid19, bisa saja terdapat disana. 

Intinya , Covid19, bermain di Gastro intestinal.

Yang aku rasakan, adalah tidak bisa makan, nafsu makan menurun, hambar dan yang terberat adalah obstipasi. Karena dia tahu, aku punya titik lemah: hemoroid alias ambein. Obstipasi menyebabkan aku harus " versen" alias mengejan: 'ngeden'. Namun tidak ada BAB atau 'pup', yang keluar. Yang ada malah bleeding, perdarahan, karena hemoroidku pecah.
Jadi wajar, jika rectum swap dapat jadi salah satu parameternya.

Sekarang kita membahas hal yang kedua.

Sebagai penyintas Covid19, aku pastinya sudah punya antibodi terhadap Covid19.
Tapi bak irama lagu, saat kondisi kita bagus, fit dan prima, antibodi sebagai penyintas, bisa menjadi proteksi yang sangat baik.

Namun manakala imun tubuh menurun, karena lelah, stress, banyak pikiran, kurang penghasilan ( hehehe), mereka langsung beraksi memainkan titik lemah tubuh kita.
Itulah yang aku alami.

Minggu lalu, kegiatanku sangat padat. Ditambah lagi, kegiatan yang menuntut interaksi dengan banyak pihak. Sehingga secara lahir bathin, aku drop dan down.
Dan rupanya ini titik masuk si cupid nakal, mulai bekerja.

Senin, aku sudah merasa tidak bisa makan apa apa. Nafsu makan menurun drastis. Kepekaan rasa menurun dan sedikit sedikit mulai menghilang. Aku sempat istirahat, namun tidak banyak membantu. Apalagi tugas menuntut, aku harus ' on position' , hadir on the spot. Sehingga aku terus bekerja dengan asupan yang berkurang.

Tapi aku sebagai veteran Covid19, tidak lantas menyerah begitu saja. 

Aku cek swab PCR . Dan hasilnya NEGATIF.

Jadi, mereka si 'cupid nakal'ini sudah bisa menghindar, mungkin sudah menyerupai struktur RNA mesenger tubuh kita? Wallohu'alam bishowab.

Yang jelas, keluhan makin memberat. 
Namun, aku terus berusaha memerangi.
Ada hal penting yang mulai jarang aku lakukan. Sholat subuh jamaah di masjid, dan olahraga. Juga berjemur. 

Aku 'hantam' dengan vitamin dan suplemen. Bukan jadi kuat, malah perut 'mlintir' tidak karuan. Karena aku gabung semua vitamin.
Runyam malah jadinya.

Istriku yang berada di kejauhan sudah sibuk. menyiapkan termos air panas, membeli teh, gula dan regal serta roti. Dari kejauhan dia terus memonitorku. Melalui salah satu PHLku, yang biasa mengurusku. 

Aku hanya bisa makan bubur, roti kosong, pepaya dan susu bear brand. Hanya itu.
Aku coba makan nasi, hanya mampu 3 sendok. Aku campur kuah soto. Agak lumayan.
Makan bakso, tidak bisa pakai mihun atau minya, hanya bakso saja. 
Itupun hanya 2 atau 3 butir saja.

Syahdan dalam keputusasaan ,harus berbuat apa, aku ingat seorang teman yang cerita tentang terapi minyak kayu putih. Tapi saking semangatnya, minyak kayu putih itu, langsung diteteskan di air putih dan diminum olehnya. Wah, aku belum berani seektrim itu. Edun. 

Tapi, tidak ada salahnya mencoba. Aku ambil tissue, aku tetesi minyak kayu putih, lalu aku masukkan kehidung, seraya membalur dada dengan minyak kayu putih. Dan aku tunggu beberapa saat. 

Apa yang terjadi?
Batuk batuk berdahak. Nyeri panas tenggorokan . Dada panas sampai ke perut.

Padahal selama ini, aku tidak pernah batuk batuk, nyeri tenggorokan apalagi sesak nafas. Tidak ada.
Yang ada, problem di saluran cerna. Hanya itu.

Setelah beberapa saat , hingga malam tiba , aku mendadak merasa lapar. Rasa yang sudah hilang beberapa hari ini. Lalu aku mencoba membeli nasi goreng. Wah, ternyata rasa nikmat itu, mulai muncul. meskipun batuk dan nyeri tenggorokan, masih ada. Dan aku hanya bisa makan separuh saja. Sisanya aku bawa pulang.

Dan hari ini, sabtu tepat pukul 04.00, aku bangun dan merasa lapar. Lalu aku ambil, sisa nasi goreng semalam, Alhamdulilah bisa kuhabiskan. Aku lanjut berjalan ke masjid, bersholat subuh jamaah.

Dan aku baru sadar, batuk dan nyeri tenggorakanku sudah hilang. Hanya masuh ada sedikit sesak.Tapi nafsu makanku sudah mulai muncul.
Alhamdulillah Ya Alloh.

Sampai saat ini, secara rasio medis, aku belum menemukan ' evidance base' alias dasar ilmiah, sehingga minyak kayu putih berefek seperti itu. Hanya lihat saja di medsos. Tanpa tertarik menanggapinya. Apalagi mencobanya.

Namun, ini adalah bagian dari proses ikhtiar. Dan mungkin ini salah satu media indah Alloh Taala untuk mengingatkan , agar tidak jumawa dan sombong. 

Bisa juga cara ini hanya cocok untuk sebagian orang, seperti aku dan beberapa yang lain. Bisa juga, tidak cocok untuk yang lain. 

Ini hanya bukti kebesaran Alloh Taala saja. Bahwa ketika " Kun Fayakun " datang, maka tak ada yang tertolak. Walau tak dapat diteeima sesuai kaidah ilmiah dan rasional. Ini bukti perlunya keseimbangan antara ilmu dan iman. 

Maturnuwun ibundaku Soelistyowati Syahrawi , ysng selalu memonitorku
Terimakasih istriku Virly Mavitasari , yang terus mensuportku dengan menata makanan san vitaminku.

Juga doa semua saudara saudaraku yang berikhlas hati, mendoakan kami sekeluarga tetap sehat.

Kebetulan hari Jumat tanggal 05.02.2021, istriku Virly Mavitasari dan relawan YBSI mengadakan kegiatan Jumat Barokah di Rumah Hafidz qur'an sSuleymaniyeh Masjid Nur syamsiah Perak Surabaya. Semoga itu merupakan bagian dari doa yang diijabah Alloh Ta'ala.

Dan hari ini Sabtu 06.02.2021, mereka mengadakan khataman Qur'an, dengan menutup doanya untuk mereka yang sedang sakit atau yang sedang bertugas dimanapun berada. 

Jadi kesimpulannya:
1. Sebagai penyintas Covid19, 'kemungkinan', sudah mempunyai early warning alias alarm dini, jika disekitarnya ada person atau lingkungan yang tidak steril dari covid19. Jika itu terasakan, anda selayaknya sudah tahu , apa yang harus dilakukan.

2. Tidak ada jaminan, penyintas covid19 tidak mengalami reinfeksi. Yang membingungkan, bisa jadi tidak terbaca oleh PCR. Karena bisa saja hasilnya False Negatif alias negatif palsu. Lebih baik berhati hati. Tetap ikhtiar, lakukan terapi apa saja yang menurut kita sesuai dengan keinginan kita. Tapi tetap terkontrol.

3.Ini juga berlaku juga untuk person pasca vaksinasi. Ibarat naik motor, pakai helm, tapi bukan berarti bisa melanggar lampu merah sembarangan. Coba aja, biar sudah pakai helm, ngebut, lewati lampu merah. Kalau tidak disapu truk gandeng, ya diuber pak pol. 🤣

Jadi baik penyintas maupun pasca vaksinasi tetap harus lakukan 3M, batasi interaksi, dan jauhi pusat keramaian. Walaupun kita sudah divaksin ataupun sebagai penyintas.

Semoga bermanfaat.
Tetap semangat dan Jangan menyerah pada covid19.

Wallohu'alam Bisshowab

Sensor Penyintas VS Covid Kembali Melindas: Jangan Abai dan Jangan Menyerah - https://www.hisnindarsyahdokter.com/2021/02/jadi-penyintas-tetap-bisa-covid-kembali.html

Masjid alhikmah TPI, dalam malam minggu yang dipenuhi tafakur 06.02.2021. Bakda magrib.

#DokterGeJeBlangkonputih
#hisnidarsyah_dr
#JumatbarokahYBSIbersamahafidzSuleymaniyehSurabaya

1Comments

  1. Sebuah karya tulis yang apik dengan bahasa sederhana dan renyah namun berbobot. Saya sangat mengapresiasi, ditengah kesibukan yang padat masih menyempatkan waktu untuk menulis tentang hal2 yang bermanfaat. Mengedukasi tanpa menggurui. Terimakasih banyak pak Dokter atas sharingnya. Ditunggu tulisan2 lainnya. Salam ta'dzim dari kota hujan, Bogor.

    ReplyDelete

Post a Comment

Previous Post Next Post