name='rating'/> Prank Berkeadaban Gus Mus

Mungkin ini posting yang sudah usang. Dan beliau,  KH Mustofa Bisri, pasti juga sudah tak perdulikan. Tapi, cerita ini, tak kan pernah aku lupakan sepanjang hayat dikandung badan. 

Duabelas tahun yang lalu. Tepat 1 muharam 1432 H/ 2008. Aku sedang off dari kegiatan di Rumah Sakit. Terbersit inginku silaturahim dengan KH Mustofa Bisri.  Yang sajak sajaknya, sangat aku sukai. 

Kebetulan Kita sama sama penulis. Pernah menulis di media skala nasional. Bolehlah sombong sedikit. 

Hanya bedaku dengan beliau, tipis saja. Aku sangat kagum pada puisi puisi beliau. Sedangkan beliau? Jangankan kagum, tahu pun tidak dengan diriku. Itu saja bedanya. Hehehe..

Beberapa waktu sebelumnya, keinginankan ini, aku sampaikan pada guruku Romo Guru Luthfi Ali Basya Mbah Bening Dan ternyata, beliau adalah santri Gus Mus. Romo Guru pun, belajar menulis , juga karena didawuhi dan diajari oleh KH Mustofa Bisri. Sehingga beliau membangun pesantren buku dan ekolistic. Mahad Tebe.

Ah, rasanya harapanpun menunjukkan "hilal".

Beliau berkenan menerima aku. Di ponpes Rodhothut Tholibi  Yang lokasinya , dekat Alun Alun Rembang.

Singkat cerita, aku pun tiba di ponpes Gus Mus. Dengan segala ke PeDe anku, aku memandang ponpes  Rodhotut Tholibin. Ukuran ponpes , tidaklah terlalu besar. Biasa saja.  Rasanya, tidak ada yang istimewa. 

Lalu aku tiba di ruang tamu.  Ada karpet terhampar.   Ambal bahasa jawanya. Tanpa Kursi.

Nuasanya pun biasanya saja. Bahkan " belang blonteng" istilahku. Karena karpetnya bukan yang lux dan tebal. Hanya sekedar karpet yang ada saja. Untuk alas duduk. Tebal tipisnya, ukurannya, apalagi motif dan warnanya. Tidak ada yang sama. "Belang Blonteng". 

Sudah ada beberapa orang yang duduk disana.  Tiga orang usianya, separuh baya. Salah satu diantaranya , mempersilahkan aku masuk. 

Lalu menanyakan padaku, apa niatku. 

Aku sampaikan bahwa aku  ingin silaturahim dengan  Gus Mus. Sekaligus menyampaikan amanah dan salam tahzhim dari santri beliau, yang menjadi guruku. Abuya Luthfi  Muhammad, Ma'had Tebe. 

Lalu dijawab" Tunggu sebentar ya". 

Aku pun, mengiyakan. 

Lalu bercakaplah kami berempat. 

Tiga orang yang tampaknya biasa saja. Seorang pakai jaket motor, dengan helm disebelahnya. Sedangkan dua orang lagi, berkaos oblong. Yang seorang memakai sarung berkopiah. Yang seorang memakai celana 3/4. Tidak ada yang pakai sorban, kafiyeh, atau simbol yang menunjukkan santri. Apalagi kiyai. Udah pasti ngga mungkin. 

Bisa jadi ini adalah orang yang ingin mencari berkah. Mungkin juga fans puisi puisi Gus Mus.  Atau mungkin seperti aku, yang hanya ingin berfoto dengan beliau. Ingin numpang beken. Keren khan, bisa berfoto dengam Gus Mus hehehe.

Seperti biasa, aku selalu mengawali percakapan. PeDe ajalah. Aku bercerita panjang lebar.  

Tentang dunia kedokteran, tentang apa saja yang sudah aku raih. Termasuk tulisan tulisanku. Wawasanku tentang ponpes dan strategi pengembangan ponpes. Tentang perlunya kemandirian ponpes. bla bla bla deh. Pokoknya ngomong yang hebat hebat. Tanpa sadar, aku sudah bercerita, dengan " sombong halus". Bukan bocor halus..hehehe.

Ketiga beliau itu sangat asyik dan tahzhim, mendengarkan aku " mendongeng". Sambil sesekali nyeruput kopi. Sesekali menimpali. Sambil " udut" , alias rokok yang tak berhenti.

Kalaupun menimpali, mereka selalu bertanya , dengan nada yang " ingin tahu banget". 

Bukan sekedar ingin tahu. 

Sehingga memacu adrenalin " kesoktahuanku", untuk terus ngomong terus. 

Aslinya " Ngedabrus" . Tapi gas poolll, rem blong. Maju terus. Mumpung berhasil memikat. Alih alih awalnya ngefans Gus Mus. Siapa tau, mendadak mereka pindah ngefans diriku. Begitu pikiran " iblisku". Hehehe

Tiba tiba seorang anak muda masuk. Nampaknya seorang santri. Langsung masuk dan mencium tangan lelaki separuh baya.

Yang hanya berkaos oblong, bersarung, berkopiah.

Karena menurutku, sudah lama aku bercuap cuap, aku pun bertanya setengah berbisik pada si santri. 

" KH Mustofa Bisri, menopo tasih ten mlebet( Gus Mus, apa masih didalam)? "

Tampak dia kaget dengan pertanyaanku. Lalu sambil menunduk, dia mengacungkan jempol.

Lalu aku lihat arah acungan jempolnya.

Bagai ditaburi abu asap gunung kelud

 rasanya kedua bola mataku.

Tangannya menunjukkan kearah pria separuh baya berwajah datar. Berkaos oblong dan bersarung. Dengan " udut" yang sambung menyambung.

Beliaulah orang yang ingin kutemui. Ingin aku minta ilmunya. Ingin aku minta berkahnya.

Gus Mus, sudah sedari tadi ada. Menyaksikan aku melawak dengan kesombongan yang Mahabodoh. Menonton dagelan " kesoktauanku". Ampun ya Alloh.

Ini kalau istilah anak milenial. 

Aku kena Prank oleh Gus Mus.

Keringat pun berbutir butir. Aku salah tingkah. Sungkem. Dan lemas. Rasanya tulang tulangku , lepas. Bahkan hilang lenyap. Tak bertenaga.

Aku yang sok tahu  dan " sombong halus", langsung mendapat pelajaran, sekaligus 

peng" hajar"an mental, perilaku dan adab.

Itulah kiyai yang sesungguhnya. Mengajar tanpa menghajar. Memberi tanpa mengharap. Tawaddu tanpa riya'. Zuhud dan sederhana. 

Tapi berilmu luas. 

Sungguh prank Gus Mus, telah merubahku. Untuk lebih banyak mendengar daripada bicara. Memberi tanpa mengharap. Peduli tanpa berpikir untuk diri sendiri. Dan lebih berhati  hati dalam berkata-kata.

Maturnuwun KH Mustofa Bisri. 

Telah memberi ilmu dan keteladanan. 

Walau melalui Prank yang berkeadaban.

Sunggeng  ambal warso 10 Agustus 2020

Barokallohulakum

Sungkem mohon pengestu.

Bumi penyengat 20 08 2020

DokterGeJeHisnindarsyah

saat sedang diskusi



4Comments

Post a Comment

Previous Post Next Post