name='rating'/> Senyum Mbah ' Guru' Supardi
Hisnindarsyah 

Ini kisah sesungguhnya. Di suatu daerah. Yang lokasinya tak jauh dari pusat kota. Masih ada hutan disana. Dengan jalan setapak. Tanah coklat basah karena hujan baru usai. Dan lumpurnya menempel di alas kaki. 
Yang berjalan dengan doa. 

Di tengah hutan kota itu tinggal lelaki setengah tua. Mbah Supardi begitu biasanya dia disapa. Sudah puluhan tahun menetap disana. Seingatnya tahun 1980 an, saat masih ada program transmigrasi. Dia menempati lahan itu.

Saat ini, sanak keluarga sudah wafat mendahului. Hanya ayam yang diternak , selalu setia menemani. Di tempat tinggal yang lebih pantas disebut rumah pohon. Karena terdiri dari kayu yang dipasang seadanya. 

Tanpa listrik. Hanya lampu teplok. Tanpa air. Hanya simpanan air tadah hujan. Tanpa keluarga. Hanya hutan dan alam dia berkawan. 

Tapi dia bahagia.
Dia senang.
Meski langkah tertatih karena bengkak saat melangkah.
Nafaspun kadang terengah jika bicara lama dan agak panjang.

Senyum pun tak pernah lepas dari wajahnya.
Saat menyambut kedatangan kami ( aku dan Banser Ansor setia Kang fandi Gansar Gunsar ) di rumah kayunya (pengganti gubuk), tawanya selalu ada. Ingatan masih jelas. Dan tak ada keluhan sedikit pun keluar dari perkataannya.

Sendirian. Tanpa keluarga. Tanpa listrik. Tanpa air bersih. Tanpa orang yang peduli.
Tapi tanpa hati yang bersedih. 
Tanpa keluh derita atau nestapa.

" Mbah, ngga merasa susah dengan kondisi yang dihadapi sekarang? Andai ada yang memberi rumah, mbah pindah kesitu, kira kira mbah mau? ".

" Lah susah karena apa?
Wong saya baru mikir mau ke puskesmas saja , tau tau pak dokter malah kesini. 
Baru mikir mau beli beras. Lah pak dokter malah bawa beras, gula,minyak dan macam macam. Terus saya harus susah karena apa?. 

Kalau tempat tinggal, ya sudah merasa senang seperti ini. 

Pak dokter, Lek mati lo malah dipendem di tanah. Ga ada lampu. Hujan kehujanan. Panas kepanasan. Lah tempat saya, meskipun cuma lampu teplok. Masih ada lampu. Kalau hujan, ada tempat berteduh. Kalau panas, malah ga pernah merasa. Wong gubuk saya ga ada pintunya. Angin was wus saja. Disini wes tentrem ayem. Pak dokter. 
Terus pindah mau untuk apa? Kecuali kalau mati. Ya harus pindah. Dari atas tanah, masuk ke bawah tanah. " lalu tawanya pecah tergelak. Kami pun ikut tertawa. 

Tapi sesungguhnya hatiku menangis. 
Malu sekali aku pada Alloh. 
Yang lagi lagi mengajar tentang makna hidup. Melalui mbah ' Guru' Supardi.

Hidup itu indah bagi orang yang tahu bersyukur.

Bumi Gurindam 17.06.2021
#dokterGeJebermuhasabahdiri






0Comments

Previous Post Next Post