name='rating'/> KOK ADA WARGA NU CABANG NASRANI? KH SAID AQIL SIROJ BECANDANYA MENUKIL MBAH WALI GUS DUR
( edisi Copas) 

Oleh: Shuniyya Ruhama 
Murid Mbah Wali Gus Dur

Dapat banyak pertanyaan dan keluh kesah beberapa sahabat tentang statemen Guru Mulia KH Said Aqil Siroj yang menyatakan , " ... Bisa dikatakan Pak Kapolri ini warga NU cabang Nasrani". 

Seperti yang sudah diduga sebelumnya, statemen ini dipotong konteksnya dan diperkarakan secara ndakik-ndakik berlebihan dan dijadikan amunisi menyerang beliau secara pribadi.

Padahal, jika orang tersebut memang kader NU beneran di tingkat akar rumput dan paham konteks, pasti sudah mafhum bahwa ini merupakan guyonan khas orang NU sebagai penghormatan dan perangkulan atas keberagaman.

Kecuali jika memang dapatnya cuma potongan statemen yang sudah diberi narasi kebencian yang membuncah dan mengaduk-aduk sentimen keNUan, akan beda lagi masalahnya. 

Lha orang becanda kok dibahas serius amat becandaannya, lalu digoreng sedemikian rupa. Dan seperti biasanya, beberapa orang yang mengaku NU juga ikut-ikutan terprovokasi. 

Mendadak mereka seperti kehilangan logika yang sehat. Padahal semua paham bahwa orang NU beneran yang paling awam sekalipun pasti tahu bahwa NU itu Islam Aswaja. Lha wong yang ngaku Islam saja belum tentu bisa jadi NU, apalagi yang bukan Islam.

Dan sebenarnya, candaan ini sudah biasa sejak jaman dulu kok. Mbah Wali Gus Dur pada era tahun akhir 1990an juga suka becanda yang model begini. Tapi gak ada yang ribut waktu itu.

Salah satunya, dulu ada tokoh bernama Pak Bingki Irawan sesepuh agama Konghucu, pernah diperkenalkan Mbah Wali:

"Pak Bingki ini orang NU, tapi belum bersyahadat". Semua yang mendengar jadi tertawa dan menjadi akrab dengan Pak Bingki Irawan.

Bisa jadi Mbah Said ini juga meniru guyonnya Mbah Wali Gus Dur yang sudah ada puluhan tahun silam. Tokh memang Mbah Said Aqil adalah sahabat sekaligus santri Mbah Wali. 

Bedanya, waktu Mbah Wali guyon, pendengarnya adalah Mbah Said dan generasinya sehingga menjadi konsumsi menambah cair suasana.

Sedangkan saat Mbah Said guyon, yang dihadapi sebagian diantaranya adalah barisan awam yang gak sinkron antara semangat dan kapasitas ilmunya, jadi ya begitu deh.. 

Salam cinta NU..
Salam cinta Indonesia...

Selamat Harlah NU ke 95
Berhikmah pada ulama
Membela kejayaan Bangsa

------------------------------------------------------------------------

MENGAPA WONG NU ITU NYENTRIK LUCU DAN MUHAMMADIYAH DAN SALAFI WAHABI TIDAK

Wong NU lucu dan salafi wahabi tidak lucu, itu sudah jadi pemahaman umum. Cak Nun sudah pernah mengatakannya, kalau tidak salah di Slilit Sang Kyai (1991).

Saya juga merasakan itu. Saya orang Muhammadiyah, tapi akrab bergaul dengan anak-anak NU. Sering pula nongkrong dan cangkrukan dengan mereka, termasuk mendengarkan humor mereka. Humor anak-anak NU itu memang khas dan berkelas. Maksudnya, cita rasa humor mereka berbeda dengan yang lain, termasuk dari orang Muhammadiyah. Ditambah lagi, humornya bukan sekadar asal bikin ketawa, tapi juga menginspirasi.

Mau tahu contohnya? Misalnya, jika ditanya kenapa santri dan kiai NU banyak yang merokok, dengan santai mereka beralasan menggunakan dalil, “Warqo’uu ma’a ar-roo’qi’iin.” Orang yang tidak paham mengira kalimat itu berasal dari hadis atau malah ayat. Padahal itu cuma kalimat bikinan sendiri dari ayat yang dipelesetkan. Artinya, “Merokoklah bersama orang-orang yang merokok.”

Kalau bukan itu, mereka akan membuat pelesetan dalil lainnya:“Roqqi’ walaa nusyuura.” Merokoklah dan jangan nyusur (mengunyah tembakau). Atau dalil lainnya lagi,“Ni’matul ‘uduud ba’da dahaar,” yang merupakan kalimat Jawa yang “diarab-arabkan” dan berarti ‘Nikmatnya orang merokok itu setelah makan’.

Contoh lainnya, untuk menggambarkan keadaan yang kembang-kempis, hidup enggan mati tak mau, anak-anak NU mengungkapkannya dengan istilah, “La yamuutu walaa yahya. Ora mutu ngentekke biaya”. Tidak bermutu menghabiskan biaya.

Nah, saya yakin humor semacam itu tak bakal ditemui di tengah orang Muhammadiyah. Humor itu sangat NU. Bagi anak-anak NU itu, bermain (dan mempermainkan) kata dengan logika ushul fiqih adalah hal biasa, wong para kiainya saja biasa mengutak-atik dalil untuk mendapatkan kesimpulan hukum sesuai keinginan mereka. Tapi ingat, yang seperti itu hanya ditemui di kalangan NU pesantren. Kalau NU ndeso ya nggak banyak bedanya sama Muhammadiyah. Kalaupun lucu, mungkin lucunya masih harus ditambah wagu.

Saya dulu mengira, anak-anak pesantren NU itu pintar bikin lelucon cerdas karena mereka belajar manthiq (logika), ushul fiqih, dan tasawuf. Lewat manthiq mereka menjadi pintar bermain kata. Dengan ushul fiqih mereka memplesetkan logika standar menuju kesimpulan tak terduga. Dan lewat tasawuf mereka mengenal sufi-sufi jadzab (nyentrik) yang sikapnya suka nyeleneh dan seenaknya. Sikap glenyengan dan sak penake dhewe ini lalu menular pada santri-santri NU itu. Makanya mereka jadi pintar melucu. Contoh terbaik, ya, Gus Dur itu.

Belakangan, analisis itu saya anggap baru separuh benar. Ternyata ada faktor lain yang lebih mendasar. Tingginya sense of humor orang NU itu ternyata bukan soal manthiq, ushul fikih, dan tasawuf. Juga bukan soal kebiasaan cangkrukan mereka, apalagi kesenangannya main gaplek dan remi di kamar-kamar pondok. Lalu apa jika bukan itu? Dalam analisis saya lagi, sebabnya adalah: karena secara alamiah, ideologi NU itu tak kenal dengan yang namanya musuh, sedangkan ideologi Muhammadiyah itu mengenal banyak perbedaan pemahaman dengan paham lainnya..
Wallahu a'lam

#copasbydokterGeJenggapakeblangkonputih

0Comments

Previous Post Next Post