name='rating'/> Niki(ta) Cak Rogo Seniman Jatim di era Pandemi
Dont Judge The Book of The Cover.
Jangan menilai buku, dari covernya. Baiknya, dibaca, baru dikomentari.
Ini bukan tentang " sesuatu" yang lagi heboh. Tapi kita bisa belajar, mensikapi kehebohan ini, dengan beriktibar. Melalui tulisan ini.

Niki(ta), itu bahasa logat atau dialek. Dalam bahasa Jawa halus. Untuk menunjuk sesuatu. Artinya, inikah? Kata bertanya, untuk menunjukan sesuatu. Bisa benda dan bisa orang. Dan kita aka berbicang sejenak, tentang orang dan benda. Topiknya, seperti di judul pembuka.

Next. 

Mati enggan, hidup pun segan.Nampaknya  peribahasa kuno itu pas untuk menggambarkan nasib sejumlah kesenian rakyat dan kesenian tradisional. Apalagi di era pandemi Covid19 ini, nasib kesenian warisan budaya bangsa, semakin miris. Ludruk, remo, ketroprak , karawitan,gandrung, tayub dan wayang orang, bernasib  tragis.

Sebelum era pandemi, Kesenian Jawa Timuran, sudah sepi peminat. Apalagi sejak para seniman “ dipaksa” bedol panggung dari Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. Nasib seniman Jawa timuran, nyaris mengenaskan.

Tapi benarkah para seniman Jawa Timuran, menyerah begitu saja pada keadaan ? Setelah mereka terpaksa di relokasi di daerah Rusun yang jauh dari pusat kota.  Dan kesempatan mengembangkan budaya , di lokasi Balai Pemuda dan Taman Budaya Surabaya, bergerak tertatih dan terseok seok, nyaris kepayahan. 

Namun para penggiat Budaya Jawa Timuran, tidak kenal kata menyerah. 

Di masa keemasan seni Jawa Timuran yang melambungkan nama Srimulat ditahun 1980-an sampai tahun 1990 an, para seniman Jawa Timur, ada di puncak kejayaan. Namun setelah itu, bersama dengan putaran waktu, seni panggung pun tergerus oleh era digital.

Ludruk, salah satunya, ikon Jawa Timur  dan Kota Surabaya, yang dipopulerkan oleh Cak Markesot “ Sang Bekupon omahe doro,Melu Nipon tambah sengsoro”, saat ini sedang sengsoro. Tinggal empat legenda yang tersisa: Sidik, Wibisono, Sapari dan Kartolo. Dan, tidak melulu soal ludruk, sekarang mereka lebih memilih lawakan, sebagai pencari rizki.

Selain mereka, ada seorang  “Silent Legend Ludruk”, yang serba bisa dalam olah seni budaya JawaTimuran. Ketoprak, Ludruk, bahkan Wayang Orang, semua dilakoninya. Mulai dari menyiapkan peralatan pentas, baju tari, hingga menyutradai pentas. Bahkan sering juga turun bermain di panggung.

Nama beliau adalah Sugeng Rogo Wiyono (69 tahun). Lebih dikenal dengan panggilan Cak Rogo. Aku biasa memanggilnya dengan Pak Rogo. Sudah hampir 45 tahun, Pak Rogo berkecimpung di dunia pentas Jawa Timuran.
Aslinya, beliau adalah penari Wayang Orang, namun cinta budaya Jawa Timuran.
 
Aku mengenal beliau, sejak 13 tahun yang lalu, saat THR mulai meredup, dan para seniman panggung Jawa Timur, sudah mulai ‘ngos ngosan’. Yang membawaku ke THR dan bertemu para seniman adalah anggotaku, anggota TNIAL yang seorang pekerja seni. Sutoyo Hunter Parabola , namanya. Disitulah aku mengenal pak alm Didik Mangkuprojo, alm Pak Bungkik dan para seniman yang hidupnya memprihatinkan. 

Namun seniman muda Jawa timur, yang semangatnya tak kunjung padam, Cak Meimura pun juga kukenal lebih dekat disana. Sekarang, Cak Meimura, merupakan salah satu generasi penerus ludruk dan kesenian Jawa Timuran Yang sangat aktif menggelar berbagai pertunjukan. Dan aku selalu dikabari olehnya.

Dan aku pun , dengan bahagia meresponnya. Termasuk bermain ludruk “iseng” disuatu saat, bersama istriku Virly Mavitasari. Melalui Yayasan Bangun Sehat Indonesiaku( YBSI),  setidaknya setiap tahun, salah satu agendanya adalah peduli terhadap seniman Jawa Timur. Alhamdulillah, tidak terasa ini tahun ke 13, kami melalui Yayasan  Bangun Sehat Indonesiaku, masih diberi kesempatan oleh Alloh Subhhanahu Wata’ala untuk berbagi bersama mereka.
 
Sekitar bulan Agustus 2020, Pak Sugeng Rogo datang bertamu ke rumahku, dan kebetulan aku sedang berada di Surabaya. Kami pun bisa berkangen kangenan. Walau kondisi wabah pandemi, dia tidak mengeluh. Hanya menyampaikan realita, apa adanya. Tentang kondisi para seniman THR yang semburat kemana mana , di masa pandemi ini. 

Dan tentunya, masalah ekonomi, merupakan salah satu kendala yang dihadapi. Tapi Pak Rogo, tidak mau dikasihani. Dia ingin, berbagi ide dan pemikiran, bagaimana para seniman, dapat bertahan di era pandemi. Yang harus patuh pada protokol kesehatan. Seperti diskusi tentang pentas Virtual salah satunya. Karena Berkerumun, masih belum diperbolehkan. Padahal periuk nasi , harus tetap mengepul. Pentas panggung terbuka yang belum bisa dilakukan, membuat kreativitas seniman Jawa Timur, harus memiliki inovasi seni di masa pandemi. 

Meskipun demikian, ternyata para pekerja seni tidak pernah berhenti berkreasi. Sekalipun sulit, tapi mereka harus tetap bertahan . Inilah tantangan hidup, sekaligus seni berkesenian  bertahan di masa pandemi.

Salah satu binaan pak Sugeng Rogo, untuk melestarikan budaya Ludruk dan Ketoprak adalah Sanggar Putra Taman Hira . Ini merupakan singkatan dari Putra Taman Hiburan Rakyat.  Anggotanya terdiri dari anak-anak eks pemain ketoprak, wayang orang, ludruk yang dulu bermarkas di Taman Hiburan Rakyat Surabaya sebelum digusur. 
 
Menurut  Pak  Rogo dibentuknya Putra Taman Hira disamping untuk memobilisasi anak-anak eks seniman THR agar tidak terpengaruh hal-hal negatif juga untuk mewadahi keinginan berkesenian anak-anak muda tersebut. Sekaligus 'nguri-nguri' kesenian leluhur.

Disamping anak-anak eks seniman THR,  juga banyak anggota dari kalangan usia sekolah dan sudah bekerja.

Semua jenis kesenian Jawa diajarkan. Karawitan, ketoprak, ludruk, wayang orang, tari-tarian dan lawak lengkap ada. Karena markas besar Putra Taman Hira di THR sudah tidak ada maka proses latihan diadakan di rumah salah satu anggota. 
 
Sempat ditawari juga untuk berlatih di Balai Pemuda oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya, tapi karena area Balai Pemuda dijadikan aloon-aloon untuk sementara latihan dihentikan. Apalagi situasi pandemi yang sampai sekarang masih terus berlangsung semakin mengurangi jadwal latihan selama ini. 
 
Saat itu pak Sugeng Rogo menyampaikan keinginannya  agar THR dapat dibangun kembali oleh Pemerintah Kota Madya Surabaya. Agar kegiatan  berkesenian di Surabaya bisa berlangsung terus. Siapa lagi yang peduli pada kesenian asli leluhur ini kalau bukan orang-orang yang aktif mencintai kesenian tinggalan leluhur ini lahir batin. Semacam sanggar Putra Taman Hira
 
" Saya hanya prihatin pak , Apa begini terus sampai Ludruk akan mati, dan apa kelakon nantinya? Jangan sampai nantinya kampung seni ini menjadi kuburannya orang seni," katanya dengan nada pelan.
Cak Rogo , awalnya adalah seorang pemain wayang orang. Tetapi dia  bertekad  untuk mempertahankan kesenian Ludruk karena Ludruk merupakan warisan Surabaya.
"Di THR harus ada ludruk dan itu wajib. Jika tidak ada ludruk, ketoprak, wayang orang, wayang kulit, jangan sebut ini THR, terserahlah taman apa gitu," Kata  Pak Rogo.

Pak  Rogo juga mengatakan melatih anak-anak sangatlah susah. Karena rata-rata mereka anak-anak bonek, alias bondo nekat (modal nekad)  karena berasal dari anak-anak beling (nakal) yang suka kelereng, layangan dan berlari-larian. Sehingga ia harus menerapkan strategi khusus, agar dapat membuat mereka tertarik dan fokus.

"Awalnya saya latih bela diri, mereka merasa senang. Kemudian saya sodorkan naskah. Saya beri waktu tiga hari, setelah tiga hari saya sobek naskahnya di depan mereka, agar  mereka menghafal. DIsitulah saya menilai kemampuan hafalan dan improvisasi setiap anak,tanpa keluar dari pakem" jelasnya sambil tertawa kecil.

Seketika itu juga ia mendapat panggilan dari TVRI. Saat itu anak-anak didiknya mengisahkan 'Sarip Pendekar Budiman' yang naskahnya dibuat oleh Pak Rogo.
Ia mengaku pementasan anak-anak ini pun merupakan biaya dari hasil menjual karcis, yang hanya beberapa yang laku terjual setiap pementasannya.
Hasil penjualan karcis ini pun tidak diberikan ke anak-anak tetapi diberikan kepada pemain karawitan, bagian tata lampu dan dekorasi.

"Saya bilang ke anak-anak, mohon maaf binaan Cak Rogo tidak pernah mengusik masalah uang. Saya bilang ke anak-anak, jangan sekali-kali menghargai dirimu dengan bayaran. Kalau mencari bayaran jangan di THR, di sini kawah condrodimukanya orang seni, tempat penggodokan orang seni," jelasnya. 

Ia menyampaikan kepada anak didiknya agar berminat belajar mengenai seni Surabaya, dengan cara memberikan contoh seniman Srimulat yang sukses di Jakarta.
"Saya juga bilang sama anak-anak, belajar dulu di sini, kalau punya nama kamu akan dipanggil orang Jakarta, kayak Mbak Nunung, Mas Tarsan, Tessi, dulu tidurnya di gedung ini sama-sama gelar tikar sama Pak  Rogo," kenangnya.

Pak Rogo mengatakan akan terus berjuang mempertahankan seni Ludruk, ketoprak, JawaTimuran dan Wayang Orang.

"Sampai mati, sampai titik darah penghabisan. Saya akan berjuang demi kesenian Suroboyo, Ludrukan," sahutnya dengan tenang tapi tegas.
 
Aku merenung. Saat pandemi seperti ini, tidak banyak yang bisa aku lakukan, dan juga tidak banyak yang bisa mereka , para seniman seni lakukan. Namun, kita sama sama paham, bahwa hidup harus saling mendukung. Saling mensuppory. Dan tidak selalu bicara tentang uang . Namun perhatian dan kepedulian sekecil apapun, akan menjadi lentera penyemangat bagi mereka para seniman Jawatimuran, untuk terus bertahan.

Dan dalam program Jumat Berkah (13/11/2020), Yayasan Bangun Sehat Indonesiaku (YBSI) melakukan pembagian tali asih bagi para seniman cilik asuhan Pak Rogo , Putra Taman Hira, yang sedang berlatih di daerah Sidoyoso 2 Surabaya.

Ketua Umum YBSI, Virly Mavitasari, bersama para relawan, tidak melewatkan kesempatan, untuk melihat seniman cilik Jawa Timur menari , ngremo. 

Niki(ta): Inikah seni Jawa Timur, di era pandemi?  Yang tidak akan pernah mati suri.  
Bergerak dalam senyap, bekerja berlatih dalam sunyi. 

Anak- anak itu dilatih dengan kehalusan akal budi dan adab etika hati nurani. 
Tidak ada caci maki, tidak ada amarah,
Tidak ada saling menggeram,
Tidak ada saling menghina. 

Yang adalah  keceriaan menggemerincingkan gelang kaki, saat menari ngremo. 
Yang ada canda tawa, berebutan peralatan pentas yang mereka suka. 
Yang ada kegembiraan, karena mereka masih dapat berbagi bahagia.

Sungguh, kami  harus belajar bersyukur dari Pak Rogo dan anak anak Putera Taman Hira. Yang merasakan kegetiran,  namun tetap bahagia dan sabar.

Aku, dirimu dan kita, nampaknya harus belajar adab, etika dan kesyukuran,  dari seniman cilik dan Pak Rogo, yang bukan artis besar, politisi , pejabat ataupun ulama. 

Dia seorang sederhana namun tidak mati rasa. Niki seni Jawa Timuran yang sabar dan tenang dalam sunyi, namun tak diam. 
 
Bumi Gurindam, istana Ikhlas Ar rasyid 17.11.2020
 
#DokterGeJeBlangkonPutih
#Tidakadahubungannyadenganyanglagikisruh
#Muhasabahdiridanselalubersyukur



0Comments

Previous Post Next Post